Story Blog Tour, Ep 3 : "Longing For You"

April 30, 2020

Tentang Story Blog Tour :

Story Blog Tour adalah sebuah challenge menulis yang dibuat beramai-ramai. Dimana member lain yang sudah diberi urutan, melanjutkan cerita sesuai imajinasi di blog pribadi masing-masing. Yang kami tentukan di awal hanya genre cerita. Karakter, plot, alur cerita, konflik akan berkembang seiring cerita. Diskusi mengenai kelanjutan cerita dilakukan seminim mungkin agar tidak mengurangi keseruan, efek kejutan dan plot twist yang terjadi pada tiap chapter. 

Saya, Dhira. Mendapat giliran menulis chapter KETIGA dari cerita kami yang bergenre Romance, Comedy. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini. Silakan membaca chapternya di sini, ya : 


Chapter 1 : An Unspeakable Word | by Saa
Chapter 2 : A New Journey : Love? | by Kenti
Chapter 3 : Longing For You | by Dhira
Chapter 4 : On Progress | by Nana
Chapter 5 : On Progress | by Zu
Chapter 6 : On Progress | by Sai

CHAPTER 3
LONGING FOR YOU

Synopsis : Saat sudut pandang pria gunung es ini terungkap secara tak terduga. Dunia menjadi meleleh dibuatnya.

Hari ini adalah hari kelima di mana aku mengutuk diriku sendiri. Kebodohanku karena terlalu lambat dalam mengambil keputusan di situasi genting, mengakibatkan dirinya terluka parah. Wanita itu, sumber kekuatan keduaku setelah Tuhan selama di dunia, terbaring lemah tak berdaya di sana—dan itu semua gara-gara aku. Kembali, aku menatapnya dari sudut paling jauh di ruangan besar di mana ia beristirahat. Sudah berhari-hari, aku tidak dapat melihat pendaran ceria kedua bola matanya. Senyuman manisnya menghilang, tergantikan pucatnya seluruh wajahnya. Kenapa? Kenapa Eliana belum sadar-sadar juga? I waited…and waited…longing to see her smile again so much.

Ini sudah lima hari, seharusnya ia sudah bangun dari istirahat panjanganya. Ya Tuhan, tolong…

Ingatan mengerikan beberapa hari yang lalu masih terbayang jelas di benakku. Aku memeluknya, untuk pertama kalinya. Bukan di saat bahagia seperti yang aku harapkan selama bertahun-tahun. Aku memeluknya yang bersimbah darah, di tengah rasa sakitnya, ia masih bisa-bisanya berulang kali membisikkan sesuatu di telingaku, “I’m okay, Xander…everything will…be…okay…It just…a little…wound…”

Jantungku terasa terjun bebas dari tempatnya. God, help. If she dies, I die.

*****
Dia kembali. Eliana sudah sadar kembali. Senyumannya kembali, pendaran mata cerianya sudah kembali juga. Bahkan, ia sudah mula bekerja lagi. Jantungku juga sudah mulai kembali pada tempatnya setelah beberapa minggu terakhir berulang kali terjun bebas setiap mendengar dokter menjelaskan kondisinya. Malam ini, aku harus bersikap seperti biasa. Ia tidak boleh tahu, betapa aku bahagia melihatnya malam ini. Jantungku memang sudah kembali pada tempatnya, tapi sial degupannya tidak bisa aku kontrol. Ya Tuhan, help!

Eliana datang dengan mengerutkan keningnya, lalu berkata dengan nada khawatir, “Kamu ngapain hari ini juga ke sini segala? Bukannya lagi banyak kerjaan, ya?”

“Saya khawatir.” Jawabku cepat. Lalu menjadi bingung sendiri. Sebenarnya yang khawatir itu, aku atau dia?

Aku melihatnya mengalihkan wajahnya, ah dia tersenyum. Senyuman yang menjadi sumber kekuatanku sedari kecil. Dari dulu, setiap aku mengawasinya dari jauh, senyuman ini yang selalu aku cari-cari. Jika kedua mataku berhasil menangkap senyumannya di pagi hari, maka itu akan menjadi kekuatanku sampai malam hari. Jika aku melihatnya tersenyum di malam hari, aku akan tidur nyenyak sampai pagi. Mimpi burukku yang berulang kali datang setiap malam, yang terus memutar ulang kecelakaan menyeramkan keluargaku, hilang begitu saja terobati karena aku melihat senyumannya pada malam itu. Senyuman Eliana itu obat untukku. Obat bagi kehidupan masa kecilku yang suram.

*****
Again, lagi-lagi untuk kesekian kalinya Eliana membicarakan gubernur itu. Kedua bola mata cokelatnya berbinar-binar ceria saat menceritakan gubernur sial itu selama perjalanan kita di dalam bus—I don’t like it. No, I hate it. Karena berusaha mengatur emosi, pada akhirnya aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tanganku otomatis mencari sesuatu dalam tas kerjaku, maskerku ke mana, sih? Harus aku pakai supaya Eliana tidak terlalu menangkap ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah drastis.

“Kamu denger ga?” Tanya Eliana karena aku tidak merespon pembicaraannya dari tadi. Aku hanya diam, pandanganku masih tertuju pada pemandangan di luar, sementara tangan kananku berusaha mencari-cari masker kainku yang berwarna hitam. Ah, ketemu!

“Bisa ga, bahas yang lain aja?” Jawabku datar sembari memakai masker. Sesungguhnya, dari dulu aku tidak begitu suka menjadi pusat perhatian. Aku ingin tenang menjaga Eliana tanpa menjadi sumber tatapan penasaran orang-orang di saat yang bersaman. Tapi kenyataan selalu berkata sebaliknya. Kami berdua dari dulu sesungguhnya selalu di tempatkan dalam satu sekolah, meskipun tidak pernah satu kelas. Kuliah juga sebenarnya satu universitas, tetapi beda fakultas. Aku benci, menjadi sasaran teriakan histeris para wanita. Konsentrasiku terganggu, Eliana berkali-kali hilang dari pengawasanku gara-gara hal ini. Jalan satu-satunya yang terpikirkan olehku pada waktu itu adalah dengan menggunakan masker kain berwarna hitam. Oke, itu tidak membantu banyak, aku tahu. Tapi setidaknya, para wanita itu tidak teriak-teriak histeris karena melihat wajahku. Well, masker itu hanya aku pakai di luar sekolah. Bisa bahaya, kalau pada waktu itu di dalam sekolah aku pakai juga. Nanti dia tahu. Tapi sesekali, di lingkungan kampus aku pakai. Karena universitas lebih luas, pastinya Eliana tidak akan sadar kalau aku ada.

Jujur, aku ingin menjadi manusia biasa saja, dengan wajah biasa, kecerdasan biasa, tinggi badan biasa. Mana pernah terbesit di imajinasi terliarku sekalipun, bahwa aku akan menjadi pengacara yang dikenal banyak orang, Ya Tuhan. Masuk berita, masuk televisi, viral di media sosial. Ini lagi, sekarang harus naik kendaraan umum segala. Kan jadi makin banyak dilihat banyak orang. 

“Kok kamu tiba-tiba pakai masker, sih?” Protes Eliana. Aku kembali tidak merespon apapun, Eliana tiba-tiba menggerakkan wajahnya persis di hadapanku, keningnya berkerut. “Eh, tunggu…kok kamu kalau pakai masker kayak gini, aku kayak sering lihat?” Tanyanya. 

Aku membeku, wajahnya terlalu dekat. Hari ini, aku sial sekali disiksa olehnya berkali-kali. “AH!” Ujarnya keras. “Kamuu itu pria malaikat tanpa sayapkuuu! Yang dari dulu, selalu muncul ketika aku dan Bia diganggu di tengah jalan oleh orang-orang jahaaaat. Ya kaaan?! Yang tiba-tiba membantu aku ketika sedang membutuhkan pertolongan. AAA, aku selalu penasaran sama kamuuu. Soalnya, kamu langsung pergi setelah nolongin kitaa. OH MY GOD, XANDEERR!! IS THAT YOUU??!!” Teriak Eliana ceria dengan mata berbinar-binar.

Aku memejamkan mata karena merasa tertangkap basah. Holy shit. 

Eh, tunggu…malaikat tanpa sayap dia bilang?

*****
Akhir-akhir ini aku sibuk. Terlalu banyak kasus yang terjadi di negara ini, yang mengakibatkan aku harus bekerja lebih keras untuk menyelesaikan kasus-kasus para klienku. Tapi, tetap…berusaha keras meluangkan waktu untuk menjemput Eliana di kliniknya.

Ada banyak hal yang berbeda yang terjadi pada diri Eliana, setelah tragedi dalam bus waktu itu. Ia sudah tidak lagi membicarakan gubernur sial itu. Ia banyak diam sekarang, membuatku hampir gila karena khawatir. Dia sakit apa bagaimana?

Sesekali, ia hanya menatapku dalam diam dengan tatapan teduhnya. Tatapannya, berhasil membuat beban di pundakku menghilang perlahan. Angin malam di dalam bus, membawakan wangi parfumnya agar selalu membekas di indera penciumanku. Ingin ku kutuk angin itu dalam hati, tapi berulang kali tidak jadi karena apa yang mereka lakukan selalu berhasil menimbulkan sensasi menyenangkan dalam diriku. Anna Sui La Vie De Boheme. Jenis parfum yang sudah Eliana pakai selama lima tahun terakhir. Tidak pernah ia ganti. Botol parfum itu berwarna hitam dengan ukiran dua buah mawar tampak elegan untuknya, tutup botolnya yang berbentuk sayap kupu-kupu berwarna emas indah sekali dilihat oleh kedua mata. Parfum itu indah, seindah dirinya.

Sesungguhnya, itu hadiah dariku untuknya. Kuselipkan diam-diam ketika aku menolongnya menangkap jambret yang hampir membawa kabur tas ranselnya. Hadiah itu kuselipkan di antara banyaknya hadiah yang ia dapat dari teman-temannya di hari itu. Ransel itu aku taruh di bangku taman, saat aku melihat ia dan Bia berlari mendekat untuk mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku pergi menjauh, tidak bersedia tertangkap oleh kedua mata mereka berdua. 

“Kamu kan, yang kasih hadiah parfum untukku lima tahun lalu?” Tanya Eliana tiba-tiba, masih menatapku. Aku tersentak kaget, karena pertanyaannya sangat mengejutkan bagiku, aku hanya menatapnya membeku tanpa menjawab apa-apa. 

“Aku sempat melihat pria bermasker hitam menolongku pada waktu itu untuk ke sekian kalinya. Dari jauh aku melihat, ia memasukkan sesuatu ke dalam tas ranselku.” Ujarnya lagi. Kedua matanya bergerak tampak sedang membayangkan kejadian waktu itu. “Aku berusaha mencari tahu, apa yang ia masukkan. Saat aku membuka semua kado dari teman-temanku, mereka semua menuliskan surat untukku. Sehingga aku tahu siapa saja yang memberikan kado-kado itu untukku. Hanya satu kado yang tidak bernama. Pada saat itu aku yakin, barang itu yang dimasukkan pria bermasker hitam itu ke dalam tasku.” Ujarnya melanjutkan. Eliana kembali menatapku dan tersenyum cantik sekali. “Karena sekarang aku yakin, pria itu adalah kamu, berarti kamu kan, yang memberikan kado parfum itu untukku? Wanginya enak sekali. Aku suka. Terima kasih banyak, Xander.”

Aku masih tidak menjawab dan memang tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Waktu yang tepat, sudah saatnya kami berdua turun dari Bus. Aku tetap tidak mengatakan apa-apa meskipun Eliana terus menatapku sembari berjalan menuju lantai apartemennya. Pikiranku terbang kemana-mana, meskipun kedua mataku masih tetap mengawasinya. Sungguh, aku benar-benar tidak ingin menjawab pertanyaannya. Eliana, berhenti bersikap keras kepala, tolong!

Kami berdua sudah sampai di depan pintu apartemen Eliana. Ia berusaha membuka pintu dan terdengar sebuah nada yang menandakan pintu sudah terbuka. Sebelum masuk, Eliana memutar tubuhnya, menatapku cukup lama kemudian bertanya dengan napas tertahan, “Xander, do you love me?”

Pertanyaannya yang lagi-lagi di luar dugaan, membuatku kesulitan bernapas detik itu juga.  Aku sudah mengenalnya, jauh dari waktu yang ia kira. Dari dulu aku tahu, pada situasi seperti apa watak keras kepalanya akan memilih untuk bertahan. Apalagi di situasi ini. Ia akan terus menunggu, sampai aku pada akhirnya menjawab pertanyaan ini.

“I do.” Jawabku lirih. Entah kekuatan dari mana, aku berhasil menjawab pertanyaan tersulit ini. “I’ve loved you for so long, Eliana. More than you know.”

Tak ada respon apapun. Eliana hanya menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Please, don’t do that. Aku benci melihat ia menangis. Aku akan melakukan segala cara agar air matanya tidak turun.

“My heart, is mine to handle, Eliana. Don’t worry.” Ujarku dengan suara berat. “It’s complicated situation, I know.” Ujarku lagi. Aku menatapnya untuk kesekian kalinya, berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak memiliki kewajiban untuk mencintaiku juga.

Eliana menggeleng cepat. “No, it’s not complicated. Trust me.” Jawabannya, kembali membuatku tersentak. Terlalu bingung, keningku berkerut karena terkejut. Jawaban Eliana sungguh di luar dugaan, benar-benar tidak dapat aku pahami.

“What do you mean?” Tanyaku. Masih bingung dengan jawaban yang baru saja aku dengar dari kedua bibirnya.

Eliana hanya tersenyum, senyuman terteduh yang pernah aku lihat. Ia membuka pintu apartemennya, kemudian bergerak masuk ke dalam. Sebelum menutup pintu, ia berbalik menatapku yang masih terlihat kebingungan di lorong, kemudian ia berkata, “Thank you for today, Xander.”

Lalu pintu di tutup. Menyisakan sebuah pertanyaan besar dalam hidup. Ada apa ini?

*****
Hari ini Hari Minggu. Tiba-tiba panggilan datang dari ayah angkatku. Yah, Ayah Eliana juga maksudnya. Beliau menginginkan aku agar datang ke kediamannya. Sesungguhnya aku ingin istirahat. Badanku lelah, sangat. Tetapi, panggilan ini jauh lebih penting daripada kondisi tubuhku sendiri. Mungkin ada situasi yang genting. Tidak biasanya, aku diminta datang. 

Waktu menunjukkan pukul satu siang, ketika aku pada akhirnya masuk ke ruang kerja beliau. Ayah angkatku ini sedang duduk di kursi favoritnya sembari membaca koran yang datang tadi pagi. Beliau mengalihkan pandangannya menatapku, setelah aku menutup pintu dengan bunyi ‘klik’ ringan.

“Xander, long time no see. Apa kabar?” Suaranya terdengar serak tapi selalu terdengar ramah di telingaku. “Sini nak, duduk. Teh, mau? Tehnya enak nih, teh langka. Temuannya Pak Sarwani, ayahnya Gabia. Ayah kurang tahu tapi nemunya di daerah mana dia.”

Aku tertawa, sungguh tidak akan bersedia memakan atau meminum apapun lagi dari Ayah Gabia. Terakhir aku memakan makanan racikannya, hampir membuatku tewas di tempat. Aku ingat, bagaimana paniknya ayah angkatku melihatku kehabisan napas di ruangan makan rumah ini satu tahun lalu. Aku harus dirawat, hampir seminggu penuh. Setelah melewati masa kritis tiga hari lebih. Entah mengapa dari sekian banyak orang yang memakan masakannya, hanya aku yang mengeluarkan reaksi alergi. “No thanks, sir. I’m good.”

Ayah angkatku menatapku kecewa. “Setelah bertahun-tahun kamu hidup dengan saya, kapan kamu bersedia panggil saya dengan sebutan ayah?” Tanyanya. Nada suaranya menuntut jawaban cepat dariku. “Kamu tahu bahwa saya menganggapmu seperti anak saya sendiri. Kamu itu spesial. Anak laki-laki kebanggaan saya. Saya cuma punya Eliana. Kehadiranmu melengkapi semuanya, nak…” Ujar ayah angkatku lagi.

Aku diam tidak menjawab. Pandanganku beralih ke luar jendela besar di ruangan ini. Ayah angkatku menarik napas panjang. Beliau paham dengan sangat jelas, jika aku sudah mengalihkan pandangan ke arah jendela adalah sebuah pertanda bahwa aku tidak akan menjawab pertanyaannya.

“Bagaimana dengan Eliana. Menurutmu, ia baik-baik saja, kan?” Kali ini ayah angkatku bertanya lagi. Sebelum aku sempat menjawab, beliau mengajukan pertanyaan lainnya. “Kapan kamu menikah? Sudah ada calon belum? Usiamu itu sudah matang dan sudah pantas sekali mengarungi kehidupan rumah tangga. Mau saya carikan? Di kantor saya, banyak sekali yang mengagumimu, lho.”

“Tidak.” Jawabku singkat.

Cangkir keramik mahal yang ayah angkatku baru saja pegang dengan tangan kanannya, beliau letakkan lagi di atas meja. “Apanya yang tidak?” Tanya ayah angkatku lagi.

“Anda tidak perlu repot-repot mencarikan saya jodoh.” Jawabku segera. 
“Kenapa?” Tanya beliau. Kedua matanya menatapku penasaran.
Aku menarik napas berat. Merasa jengkel, karena merasa diintrogasi. “Karena saya sudah mencintai wanita lain. Sedari dulu, sejak kecil.” Jawabku singkat.
“Oh yaa? Bagus kalau begitu siapa dia? Mungkin bisa ayah bantu untuk mendapatkan dia.” Kedua bola mata ayah angkatku berbinar ceria, persis seperti bola mata puterinya.

Aku kembali terdiam. Berusaha mempertimbangkan dengan sangat cepat, apakah aku perlu mengatakannya atau kembali diam seperti apa yang biasa aku lakukan selama bertahun-tahun? Aku menarik napas panjang sekali, sampai pada akhirnya berkata, “Apakah Anda bersedia membantu saya, terlepas siapapun wanitanya?” Tanyaku, sengaja balik mengajukan pertanyaan untuk memastikan langkahku selanjutnya.

Ayah angkatku tertawa. Tawanya membahana di seluruh ruangan kerja yang besar ini. “Pastinya! Saya kan sudah bilang, kamu itu anak saya. Jadi siapa wanita beruntung itu? Coba bilang, nanti ayah pasti bantu.”

Aku menunduk, lalu memberanikan menatap ayahku dengan tatapan yang mungkin tidak pernah aku perlihatkan kepadanya sebelumnya. Tatapan penuh harap, kerinduan yang terasa tak pernah berbalas. I’m longing for her. Such a long time. She is light, she shines around every corner of my life.

“Can I love her, sir?” Tanyaku lagi pada akhirnya, setelah terdiam sangat lama.
“Siapa yang kamu maksud, nak?” Nada suara ayah angkatku berubah sangat lembut. Sepertinya ia memahami, kegelisahanku kali ini.

“Puteri Anda… Eliana.” Jawabku lirih. “Mungkin, ketika memang Anda mengizinkan saya menikahi Eliana, pada saat itulah saya bersedia memanggil Anda dengan panggilan ayah. Karena selama ini, amat berat beban saya memanggil Anda dengan panggilan ayah di saat saya amat sangat mencintai puteri Anda. Bukan panggilan ayah dalam konteks tersebut yang saya inginkan.” Ujarku getir.

Terjadi jeda yang sangat panjang. Tak sanggup menatap wajah ayah angkatku, aku mengalihkan wajahku lagi ke arah jendela. Sebelum kegelisahanku ini terjawab, pintu ruang kerja ini di ketuk. “Ayah? Aku boleh masuk?”

Oh, no. Suara Eliana.

Tanpa menunggu jawaban dari ayah angkatku. Aku pergi, menuju ruangan tersembunyi di dalam ruangan kerja ayah angkatku. Ruangan tempat aku selalu menunggu, di mana ayah angkatku ingin aku menyimak pembicaraan rahasia tanpa diketahui oleh orang lain.

*****
“Ayah sebenarnya tahu ga, kalau gubernur itu…Mas Aditya Ismail itu suka sama aku?” Aku mendengar Eliana bertanya kepada ayahnya beberapa saat setelah ia masuk ke ruangan kerja ayahnya.  Aku merasa hatiku tertusuk jarum yang efeknya membuat kepala dan jantungku terasa sakit. “Dia bilang beberapa waktu yang lalu secara langsung setelah acara peresmian rumah sakit baru tidak jauh dari sini. Dan dia bilang, udah cinta sama aku dari lama banget katanya.” Ujar Eliana melanjutkan. Nada suara Eliana terdengar sangat terganggu. 

“Kenapa ayah merasa kalau kamu tidak suka menghadapi kenyataan bahwa ia mencintaimu sejak lama? Bukannya bagus? Ia punya potensi yang bagus menurut ayah.” Tanya ayah angkatku kepada puterinya.

Tidak ada jawaban cepat seperti biasanya. Aku mendengar suara berdenting yang berasal dari cangkir dan sendok, lalu suara air yang sedang tertuang. Saat itu aku menggerakkan kepalaku untuk melihat jam dinding di ruangan tempat aku berdiri sekarang. Sudah lima menit, tidak ada respon apapun dari Eliana.

“Karena aku tahu dia berbohong.” Jawab Eliana pada akhirnya.
“Dari mana kamu tahu bahwa ia berbohong?” Ayah angkatku bertanya lagi, kali ini terdengar suara yang menandakan bahwa beliau sedang menyesap teh unik racikan Pak Sarwani, ayahnya Gabia.

“Karena aku tahu bagaimana tatapan seseorang yang mencintaiku selama bertahun-tahun. Seseorang yang sudah mencintaiku sangat lama. Jauh melebihi waktu yang aku tahu, Ayah…” Jawab Eliana lembut.

Suara lembut Eliana menari masuk ke dalam diriku. Menjalar ke aliaran darahku dengan kecepatan yang menyenangkan. Jantungku berdegup bahagia karena kerinduan yang berusaha aku tahan selama bertahun-tahun. Reaksi ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sehingga, otakku tidak mampu memerintahkan tubuhku untuk bereaksi sebagaimana mestinya. Aku hanya diam membeku tanpa dapat melakukan apa-apa. Kedua mataku mengambil alih. Air mataku turun, setelah sekian lama…

You Might Also Like

1 comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Follow me on IG : @nadhiraarini