Metamorfosa Hijrahnya Dhira
October 19, 2015Semua orang berubah, ya kan? Dan pernah ga kalian merasa kalau perubahan kalian itu begitu cepat? Dari beberapa bulan kemarin ke bulan ini, kalian berubah menjadi seseorang yang benar-benar berbeda sampai orang terdekat kalian mengerutkan kening saking bingungnya?
Gue pernah.
Bagi kalian yang kenal deket gue awal tahun ini, ketika ketemu gue hari ini bakalan merasakan perubahan yang beda banget dari diri gue. Apanya yang berubah? Hampir semua. Dari perubahan cara berfikir, emosi, gaya hidup sampai pakaianpun berubah banget.
Di sini, gue akan bercerita tentang perubahan gue yang paling drastis. Pakaian.
Kalian tahu, gue adalah tipekal wanita introvert yang kalau belajar sesuatu harus melewati trial and error sendiri dan ga terpengaruh sama faktor luar. Mau berkali-kali orang meminta gue untuk melakukan hal A, kalau dari dalam diri gue ga mau, gue ga akan terpengaruh. Mau dimotivasi sampai segimana seringnya, kalau dari dalam diri gue lagi gamau dimotivasi, gue ga akan termotivasi walaupun orang-orang disekeliling gue termotivasi. Gue bergerak sesuai pengalaman dan kemauan kuat dari dalam diri gue sendiri. Peduli amat orang mau bilang apa.
Dari dulu gue tahu, bahwa pakaian bagi seorang wanita adalah yang longgar, tidak menampakkan bentuk tubuh, menutup aurat dan sederhana. Lebih tepatnya gue tahu bahwa ‘jilbab’ menurut Al-Qur’an biasa dikenal orang-orang sebagai sebutan ‘gamis’. Yaitu pakaian longgar yang menjulur menutupi seluruh tubuh. Tetapi, beberapa tahun yang lalu sampai beberapa bulan sebelumnya, gue merasa bahwa pakaian seperti itu menyebalkan. Well, gue jadi keliatan lebih tua dari yang seharusnya. Dan gue benci kalau ada orang yang manggil gue dengan sebutan ‘ibu’ karena gue pake baju gamis panjang yang gombrong-gombrong. Yaiyalah, masih muda gini dipanggil ibu-ibu. Kesel banget laah. Dan ketika gue mendengar pendapat lain bahwa memakai baju dan rok panjang itu boleh, gue memilih mengambil pendapat itu.
Tapi ga cukup disitu. Gue waktu itu lagi tergila-gila dengan mode baru yang lagi nge trend. Jadi gue seneng banget nge mix and match baju yang gue punya. Berhubung gue itu pencinta model baju jaman dulu (jenis baju zaman old centuries, reinassance, maldieves, female warrior baik itu western maupun asia), maka gue membuat segala baju gue dengan model bertumpuk-tumpuk. Ya daleman lengan panjang, long cardigan, dll. Kerudungpun gue model-modelin sedemikian rupa, meskipun masih tetep di bawah dada ya. Jadi gue butuh dandan dua jam lebih awal untuk siap pergi. Karena memang baju yang gue pake selalu ribet ga cuma satu lapis, kerudungpun dimodelin macem-macem menggunakan banyak peniti. Kadang gue malah ga peduli kalau cardigan gue itu ternyata ga menutupi pergelangan tangan. Pergi keluar kemana-mana juga ga pake kaos kaki. Baju yang gue pake juga harus ngepas sama badan. Pokoknya begitulah Fashion is number one, peduli amat sama aturan Allah. Parah banget kan?
Tapi ada satu masa dimana, semua pemikiran gue itu berubah semuanya. Ada suatu kejadian yang bikin gue jatuh sejatuh jatuhnya dan di saat itu, ditengah keputusasaan gue, gue berdoa sama Allah, “Ya Allah, tolong tunjukkan kepadaku jalan yang lurus menuju-Mu. Apapun itu. Tunjukan kepadaku segala hal yang membuatku mendekat kepada-Mu dan buat hatiku tenang untuk melaksanakan segala hal yang Engkau tunjukkan kepadaku.”
Ditengah badai tangisan yang tak kunjung reda, hati yang berguncang karena kecewa, Allah ternyata masih sayang dengan seorang gadis bernama Nadhira Arini ini. Allah mengabulkan doa yang gue pinta dan perjalanan panjang gue untuk menjadi seorang Dhira yang lebih baik lagi ini, mengharuskan gue untuk menyendiri di suatu pulau selama satu bulan. Bukan menyendiri dalam arti gue bertapa sendirian di pulau terpencil ya. Tapi gue berada di suatu lingkungan yang ternyata ketika gue sampai di sana, memang menjadikan gue menjadi seseorang yang lebih baik lagi.
Sebenernya, isinya hanya kelompok sederhana wanita-wanita sholihah yang memakai kerudung serba panjang. Yang ketika pertama kali gue di sana, menurut gue panjang kerudung mereka ga masuk diakal saking panjangnya. Baju mereka atas bawah tapi ga ketat. Kadang-kadang, sebagian diatara mereka memakai gamis longgar yang ntah kenapa di saat itu, kedua mata gue ini nangkepnya beda. Mereka yang memakai gamis ini atau sebutan lainnya jilbab, terlihat anggun di mata gue. Adem gitu ngeliatnya.
Dan kalian tahu, gilanya adalah gue itu paling beda sendiri di situ. Semua baju yang gue bawa ga ada yang longgar. Semuanya pas di badan. Kerudung yang gue bawapun pashmina yang ukurannya tetap di bawah dada tapi panjangnya ga sepanjang para wanita-wanita sholihah yang ada di sana. Gue beda sendiri kawan. Dari situ ntah kenapa gue merasa tabarruj – berlebih-lebihan dalam menunjukkan diri gue sendiri. Pakaian yang terlalu menunjukkan bentuk tubuh, beberapa pakaian yang gue pake masih ada beberapa yang terlihat menerawang, kerudung masih terlalu tipis bahannya sampai daleman kerudung terlihat, dan masih banyak hal lainnya yang ketika gue di sana, gue merasa malu sendiri dan ga nyaman sama apa yang gue pakai selama ini. Tapi apa mau dikata, itu kota terpencil dan gue ga bisa beli baju baru. Bentuk badan gue ga senormal wanita biasa, jadi jarang ada baju yang pas sama ukuran baju gue. Sebenernya ga ada yang menghina pakaian yang gue pakai. Mereka semua baik-baik. Tapi ntah hati ini, bergejolak malu ketika pake baju yang biasa gue pakai. So, gue harus bertahan menanggung malu selama sebulan tinggal di situ. Sedih.
Padahal sebelumnya ga ada rasa malu dalam diri gue pakai pakaian kayak gitu. Menurut gue pakaian yang gue pakai udah bener, kok. Kerudung gue juga selalu nutupin dada. Tapi dengan Allah memberikan rasa ga nyaman di hati gue selama sebulan gue di sana, semakin meyakinkan gue bahwa selama ini baju dan kerudung yang gue pakai itu belum terlalu syar’i, belum sesuai sama aturan yang Allah kasih. Dari situ gue merasa bahwa, “Oh, ini dia petunjuk Allah.” Dalam tangis gue waktu itu, gue memohon sama Allah untuk ditunjukkan jalan yang benar, ketenangan hati ketika menjalankan apa yang ditunjukkan oleh-Nya. Dan hanya dari rasa risih akan pakaian yang selama ini gue kenakan, lalu merasa sejuk melihat wanita lain memakai pakaian longgar yang selama ini gue hindari, semakin meyakinkan gue bahwa sebenarnya pakaian yang benar untuk wanita adalah pakaian panjang yang longgar seperti itu bukan pakaian yang selama ini gue pake.
Dari kunjungan sederhana yang hanya sebulan, gue pulang ke rumah membawa keyakinan baru. Gue bilang sama nyokap gue bahwa gue sekarang mau pakai gamis kemanapun gue pergi dan ga akan keluar rumah kalau gamis-gamis itu belum ada di lemari. Gue akhirnya nyoba beli kerudung yang ukurannya lebih panjang dari ukuran kerudung yang biasa gue pake selama ini. Jelas nyokap gue seneng banget ngeliat puteri pertamanya berubah begitu. Dari dulu nyokap gue udah bilangin tentang pakaian syar’i sampai berbusa mungkin. Tapi ga begitu gue dengerin. Semudah itu Allah membolak balikkan hati manusia, semudah itu Allah membuat hati gue berpaling. Dari yang menghina baju longgar, akhirnya diberi keyakinan untuk sekarang memakai baju longgar itu dari pengalaman yang gue jalanin sendiri. Dari yang anti pakai kerudung panjang, akhirnya diberi kemauan untuk merubah gaya kerudungnya menjadi lebih sederhana dan terjulur lebih panjang dari biasanya.
Ade perempuan gue, Hana. Juga merasakan gejolak yang sama. Hana itu seneng kalau baju yang dia pake sama persis kayak yang gue pake. Kalau gue punya baju baru dengan model A, dia harus punya juga. Makanya ketika dia harus sekolah di boarding school dan mengharuskan dia untuk pake gamis, dia menolak habis-habisan dan marah. Hana bilang, “Mba Dhira aja boleh pake baju atas bawah, kenapa aku ngga? Mba Dhira aja boleh pake baju yang biasanya di pake, kenapa aku ngga?? Kenapa aku harus pake baju panjang gombrong gede nyebelin kayak gitu, kenapaa?? Aku gamau pake pokoknyaaa!! Mana kerudungnya panjang banget lagi. IH!”
Kehebohan itu terjadi, beberapa minggu sebelum gue pulang dari pulau kecil itu. Dia menolak memakai apa yang diwajibkan sekolahnya, dia benci harus memakai baju yang beda dari yang biasanya gue dan dia pake. Dia kesel, harus pakai kerudung lebih panjang dari yang biasa dipakai. Dia menolak ngobrol sama gue lewat telepon, karena ade gue itu tipekal yang hanya bisa diajak ngobrol dengan tatapan langsung. Hana ga tahu, bahwa gue sebenernya ketika pulang, akan merubah semua penampilan gue mirip sama apa yang sekolahnya wajibkan. Sebuah kebetulan yang luar biasa bukan?
Jadi, ketika dia pulang karena libur panjang lebaran, akhirnya gue pake kesempatan gue untuk ngobrol berdua sama dia. Dia belum tahu kalau gue udah ga pake baju yang biasa gue pake, karena selama dia pulang gue belum keluar rumah. Hana masih nangis karena belum betah di sekolah barunya, dia masih kesel karena harus pakai baju yang dia benci modelnya.
Kata-kata yang keluar dari bibir gue waktu itu sederhana aja. Ketika jari-jari gue mulai menghapus air mata yang turun deras di kedua mata adik perempuan gue tersayang, hanya kalimat ini yang terlontar otomatis dari bibir gue, “Hana, kita sama-sama berubah yuk. Kamu tahu, sebenernya baju yang Mba Dhira pakai sekarang sudah bukan baju yang dulu biasa Mba Dhira pakai. Tapi persis kayak baju yang sekolah kamu minta. Gamis panjang gombrong loh hehe.”
Hana ngeliat gue dengan pandangan kaget dan dia mengerutkan keningnya tanpa bicara apa-apa, “Ga percaya? Liat aja di lemari Mba Dhira. Baju-baju sebelumnya udah Mba Dhira bongkar dan disumbangin ke orang lain.” Gue akhirnya melanjutkan. Hana menatap gue bimbang dan akhirnya gue ngomong lagi, “Allah sepertinya memang pengen kita berdua berubah jadi lebih baik lagi dengan jalan yang berbeda. Mba Dhira harus pergi dulu ke suatu tempat dan pada akhirnya dapet ketenangan hati tentang pakaian yang benar itu seperti apa. Kamu, diharuskan memakai pakaian itu ketika di sekolah. Yakinilah kalau ini cara Allah untuk menjadikan kita berdua lebih baik lagi, sayangku. Walaupun pengalaman kita beda, tapi intinya Allah memberitahukan sesuatu yang sama, bukan? Jadi gimana kalau kita berdua bareng-bareng berubah ke arah yang lebih baik? Tanpa paksaan?”
Hana masih diam, tapi kedua tangannya bergerak memeluk gue erat. Angin sepoi-sepoi masuk dengan lembut menggoyangkan gorden kamarnya, seperti menandakan bahwa alam ikut berbahagia mendengar obrolan kita yang sederhana.
Pelukan terakhir di kamarnya tanpa kata-kata, ternyata menandakan keputusan yang diambilnya. Dia ga bilang akan berubah gitu aja, tapi ketika mudik ke Lampung selama seminggu, gue akhirnya paham bahwa dia mendengar dan mencerna dengan baik kata-kata yang kakak perempuannya sampaikan. Baju-baju yang dia bawa, ga ada yang atas bawah. Semuanya gamis yang dia pakai hasil jahitan lembut tangan nyokap gue yang terlihat anggun di tubuhnya yang tinggi. Kerudung yang Hana pakai, malah lebih panjang dari kerudung yang gue pakai. Dia terus terlihat ceria sepanjang hari dan tidak ada guratan kekesalan yang tampak ketika ia memakai gamisnya. Kalian tahu, sebagai seorang kakak, gue merasa bahagia melihat perubahan adik gue yang luar biasa.
Hijab Syar'i bukanlah pertanda sudah baik, kan? Tapi di mulai dari sana, artinya kita sudah siap belajar untuk jadi pribadi lebih baik ke depannya lagi. Dan yuk marilah kita sempurnakan hirah kita dengan mulai menyempurnakan hijab kita ;)
Karena istiqomah lebih mudah jika dilakukan bersama-sama, kan? Allah tahu bahwa akan lebih mudah untuk kita berdua melaksanakan apa yang Allah perintahkan jika gue dan Hana berubah bersama-sama. Melalui pengalaman yang berbeda, menjadikan kita berdua sebagai kakak dan adik, saling mendukung satu sama lainnya. Mba Dhira sayang Hana. Kamu, adik perempuan Mba Dhira tersayang. Terima kasih ya Allah, sudah mengizinkan kami berdua berubah menjadi pribadi lebih baik bersama-sama :)
Bogor,19 Oktober 2015,
Hati ini milik Allah, hati kalian juga milik-Nya.
Semoga kita semua sama-sama bergerak ke arah yang lebih baik menuju cahaya-Nya dengan jalan cerita yang indah dari-Nya :)
18 comments
tulisan ini sangat menyentuh, Mbak Dira. Semoga istiqamah dengan perubahan ke arah lebih baik lagi. amin
ReplyDeletesemoga istiqomah ya, mba Dhira. aamiin. :)
ReplyDeleteAamiin. Semoga istiqomah, Dhira. Aku juga ^^
ReplyDeleteKak Dhira memangnya habis ke mana?
ReplyDeleteSemoga istiqomah mbak :) dan semoga adikku juga nyusul :')
ReplyDeleteIndahnyaaaaaa :)
ReplyDeleteAku juga ngerasain manfaatnya, pakai hijab syar'i itu jadi irit waktu. Hhihi... lagi nabung dulu nih biar bisa ganti semua baju dengan yang syar'i :D
ReplyDeleteMasya Allah... semoga istiqomah dhira :)
ReplyDeleteterharu kak, bacanya :'"") bismillahirrahmanirrahim, semangat perubahan! kita bisa!!!!! aku juga masih harus banyak belajar nih.....
ReplyDeleteDulu sebelum mbak terkenal, aku sudah baca blog mbak Dhira. selalu ngikutin. sudah beberapa bulan tak mampir.. hari ini baca lagi pas di postingan yg ini. kau tahu, mbak? aku nangis. hehe. terharu. mbak sayang bgt sama adeknya. semoga mbak dan dek Hana istiqomah ya.. doain aku juga yg masih blm terbiasa :')
ReplyDeleteKeep istiqomah dhira...tulisan nya selalu jleb...
ReplyDeleteKeep istiqomah dhira...tulisan nya selalu jleb...
ReplyDeleteAssalamu'alaykum mba dhira...
ReplyDeleteSubhanallah....
Tulisan ini sepertinya yg aq tggu dr mba dhira..
Aq sblmnya silent reader blog nya mb dhira..
Dr dlu aq ikutin terus tlisan mba..
Tapi kali ini bahagia banget..
Sebgai sesama muslimah.. Aq terharu...
Smga tlisan mba bisa memberi inspirasi untk muslimah lainnya agr hijrah ke yg lbih baik...
Aq doa kan semoga istiqomah ya mba....
Cerita hijrah yang indah ^^ semoga istiqomah ya.
ReplyDeleteMasyaAllah, saya terharu bacanya mbak.
ReplyDeleteSmga ttp istiqomah ya mbak :)
Mbak Dhira,, Semoga istiqamah dengan niatnya.. semoga aku juga ketularan berhijrah (sudah lama niat tapi belum terealisasi) :(
ReplyDeleteNyai Dhira emang bisa banget kalo nulis, bikin orang nangis siang bolong.
ReplyDeleteAku lagi dikejar deadline novel yang harus selesai hari ini, sebelum tahun baru 2016. Tapi tulisanmu kali ini cukup bikin aku nangis-nangis. Thanks Dhira untuk inspirasinya.
menyentuh isinya, kayak ditampar mba dhir :')
ReplyDelete