Ketika Cicak, bersama Laba-Laba...
July 06, 2013
Aku, si cicak. Mendesah pelan, mengutuk
dalam hati. Menyadari bahwa ini adalah hari tersial dalam hidupku. Terperangkap di sarang laba-laba.
Aku lupa bagaimana bisa ini terjadi. Yang
aku ingat, aku tertiup angin kencang tadi malam ketika sedang asik mengincar
nyamuk kecil gemuk yang terbang pelan sebagai target sasaran makan malam.
Angin itu terlalu kencang, hujan terlalu
lebat, kepalaku terbentur keras. Aku tidak ingat apa-apa. Tiba-tiba terbangun
karena sinar mentari pagi menyilaukan mata dan mendapati diriku merekat erat di
sarang laba-laba ini.
Oh
Tidak. Habislah riwayatku kali ini.
Aku si cicak tinggi, kurus, kecil ini mencoba
melirik menggerak-gerakkan mataku ke sekeliling. Di sana, di ujung atas
sana, laba-laba itu ada di sana. Warnanya
hitam pekat, sepekat hitamnya dua matanya. Tubuhnya tidak terlalu besar, tapi
ntah kenapa dia terlihat gagah dengan aura aneh yang aku sendiri tidak dapat
mengerti apa maknanya. Dia, si laba-laba gagah menatapku dalam diam di ujung
sana, tak bergerak. Mataku tanpa sadar bergerak menatap matanya lama, tatapan
kami bertemu…
Jantungku berdegup kencang. Tatapan tanpa
ekspresi laba-laba hitam ini, seakan mampu menembus, membaca jalan pikiranku,
membuatku semakin ketakutan. Oh, Tuhan.
Apakah hari ini aku akan jadi santapan sarapan paginya?
Sang laba-laba gagah ini, menggerakkan
kedua matanya mengikuti alur pergerakan kedua mataku yang bergerak semakin
cepat karena takut. Matanya seperti menimbang sesuatu, salah satu alisnya
terangkat ke atas, tatapannya yang semula tanpa ekspresi berubah menjadi
menenangkan. Ketakutanku lenyap seketika. Ada
apa ini?
Dan laba-laba hitam itu bergerak perlahan.
Matanya tetap menatapku. Aku tersihir oleh peralihan tatapannya yang berubah
lembut dan menenangkan. Dia mendekat, semakin mendekat. Semakin jelas, mataku
menangkap gambaran wajahnya. Aneh, laba-laba
hitam itu tak tampak menyeramkan?
Sekarang kami berhadapan. Saling
bertatapan dengan jarak hanya beberapa sentimeter saja. Tubuhku masih tak bisa
bergerak, jaring laba-laba ini merekat erat sekali.
Mata sang laba-laba hitam ini bergerak
menatap keningku, lama. Lalu, ia menggerakkan kedua kaki depannya perlahan.
Mengambil embun pagi yang menggantung di sarangnya dengan kedua kaki depannya.
Mendekatiku lagi, hingga jarak kami benar-benar dekat. Kaki depan kanannya
memegang embun itu, kaki depan kirinya menjaga agar embun pagi itu tidak jatuh
dan menghilang ke bawah tanah.
Jarak kami benar-benar dekat, sangat
dekat. Aku memejamkan mata, takut. Tapi tiba-tiba ada rasa dingin sekaligus
perih dari keningku. Kupaksa agar mataku terbuka. Pemandangan di depan mata,
benar-benar tak kusangka…
Laba-laba hitam itu, menggerakkan kaki
kanan depannya ke keningku. Membasuh keningku dengan embun pagi, menghilangkan
bekas darah yang ada di keningku dengan lembut. Oh, sepertinya luka di keningku itu luka yang terjadi akibat terbentur
tadi malam.
Aku memandang laba-laba itu dengan tatapan
tercengang. Sang laba-laba ini menatapku tenang. Mulutnya bergerak, seakan
membentuk senyuman. Lagi, laba-laba itu menatap wajahku lama. Lalu ia bergerak
ke atas kembali ke posisinya semula. Diam, mengawasiku dari jauh.
Angin semilir, membuatku mengantuk. Aku
tertidur. Terbangun karena mencium bau lezat di sebelahku. Oh, ada seekor
nyamuk gendut besar yang terperangkap juga. Aku lapaar, bau harum nyamuk ini
sangat menggoda.
Aku melirik ke atas, laba-laba itu masih
mengamatiku di sana. Mulutnya menyeringai. Seakan mampu membaca isi kepalaku,
ia berjalan mendekat.
Sekarang, fikiranku bergejolak : “Siapakah yang akan terlebih dahulu menjadi
santapannya? Aku atau dia, si nyamuk gendut itu?“
Laba-laba hitam itu sekarang berdiri di
antara kami. Aku menatapnya, ekspresi matanya tidak dapat di tebak. Dia, sang
laba-laba itu melirikku sekilas dan mulai menggerakkan kaki-kaki depannya ke
arah nyamuk malang itu. Aku tidak berani melihat apa yang dia lakukan terhadap
makhluk malang itu. Sekarang, aku alihkan pandanganku ke samping. Tidak ingin
melihat.
Lama, tak terdengar apa-apa. Aku
memberanikan diri untuk melirik ke kiri. Laba-laba itu ternyata menatapku dari
tadi, salah satu kakinya menggenggam erat nyamuk gendut yang tidak berdaya itu.
Aku menatapnya penuh tanda tanya, seolah berkata, “Kok belum di makan?“
Seolah mengerti, dia menyeringai, berjalan
pelan ke arahku sambil menggenggam nyamuk itu. Perutku bergejolak. “Ya Tuhaann, nyamuk itu terlihat lezat
sekalii“ Aku menelan air liurku dengan susah payah.
Kaki berbulunya yang memegang nyamuk itu
bergerak ke arah mulutku. Aku hampir gila, karena mencium bau lezat nyamuk itu.
Seandainya aku boleh, pasti sudah langsung aku santap habis nyamuk itu. Tapi
aku takut, itu kan santapan si laba-laba hitam.
Tapi ntah,
dia seperti membaca pikiranku lagi. Tiba-tiba ia menggeleng. Kembali
menyodorkan nyamuk itu ke mulutku dengan kaki depannya, seolah berkata, “Untukmu” Seperti terhipnotis, aku
menyantapnya tanpa berfikir lagi.
Lagi-lagi,
laba-laba itu menatapku yang asik menyantap habis si nyamuk gendut. Lalu
kemudian, ia bergerak kembali ke atas, ke posisinya semula. Diam, mengawasiku
dari jauh. Begitu terus, selama
berhari-hari. Aku tidak pernah lapar, aku selalu kenyang. Dia, si laba-laba
hitam. Memberiku segalanya.
Karena tidak pernah bergerak, tubuhku mulai gendut karena selalu
mendapat makanan. Pikiran negatif mulai merasuki
hatiku, “Jangan-jangan dia menungguku
gendut agar bisa menyantapku? Memangsa cicak gendut lebih mengenyangkan kan,
daripada memangsa cicak kurus kering kerontang?“
Tetapi kekhawatiran itu tak pernah datang.
Dia tidak pernah berusaha memangsaku. Melepaskanku juga tidak. Kami
menghabiskan waktu tanpa suara, dia mengawasiku selalu di tempat yang sama, aku
mengawasinya juga dari tempat yang sama pula.
Perasaan yang tidak seharusnya itu pun
muncul. Sepertinya, aku mulai jatuh cinta dengan spesies yang salah. Makhluk
yang bukan dari kalanganku, sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan akan
mengisi lubuk hatiku yang sudah lama tak berpenghuni.
Dia yang
tidak pernah bicara, yang hanya mengawasiku dalam diam, dan menjagaku siang dan
malam…
Mengetahui apa yang aku butuhkan dan
memberikan apa yang aku inginkan…
Jaring-jaring laba-laba miliknya ini,
seperti jaring-jaring cinta yang menjeratku erat, tak bisa dilepaskan begitu
saja.
Kita memang berbeda, tapi ntah kenapa
pesona dalam dirinya sulit untuk di hilangkan…
Bukan salahku untuk mencintainya…
Tuhan yang menakdirkan angin untuk
menghempasku jauh dan meletakkanku di jaring-jaring rumahnya.
Bukan salahku, ini bukan salahku…
Ya Tuhan, aku tahu aku tidak di takdirkan
untuknya…
Hilangkan saja perasaan ini, aku tak ingin
perasaan ini berkelanjutan dan membuatku bergelimangan dosa karena terlalu
memikirkan dia, yang seharusnya tidak boleh di fikirkan…
Aku terhenyak, dia tiba-tiba datang
mendekat…
Kembali menatapku lama sekali, sampai
akhirnya mulutnya seolah bergerak dan untuk pertama kalinya, aku mendengar
suaranya…
“Aku,
tidak pernah memintamu datang…Tapi angin itu membawamu kesini…Aku ingin
memangsamu saat itu juga, tapi ntah kenapa aku tidak bisa. Kamu, adalah sesuatu
yang aneh yang tidak bisa aku jabarkan dengan kata-kata. Aku tidak ingin
memangsamu, tetapi juga tidak ingin melepaskanmu..“
Aku menatapnya dalam diam, suaranya begitu
indah tertangkap oleh telingaku, begitu tenang, tetapi mengandung makna
kesedihan yang dalam. Dia menatap ke arah langit malam yang gelap, “Aku tahu ini semua pasti ada akhirnya. Aku
tidak bisa menahanmu lebih lama, sebentar lagi angin itu kembali datang
menjemputmu. Pejamkan matamu. Aku berdoa, semoga sang angin tak menerbangkanmu
terlalu kencang dan membuatmu luka untuk kedua kalinya.“
Mataku berkaca-kaca, berusaha menahan air
mata yang turun. Dia menyadarinya. Lalu berucap lirih, “Jangan menangis. Kamu hanya boleh menangis ketika hujan datang.
Menangislah bersama hujan, sehingga tangisanmu larut bersama mereka. Tak ada
yang bisa melihat, tidak ada yang bisa menyadari air mata yang turun di tengah
hujan…“
Sang laba-laba memberikan tatapan
perpisahan, lalu kembali kembali di posisinya yang sama. Mengawasiku dalam diam
di ujung atas sana.
Benar, angin kencang itu kembali datang.
Menghempasku dengan kencang, menghancurkan jaring-jaring laba-laba hitam itu
sekejam mata. Aku melihatnya terlempar jauh berlawanan arah ke tempat angin ini
membawaku terbang. Selamat tinggal…
Tuhan memberikan jawabannya…
“Cicak
dan laba-laba, tidak akan pernah di takdirkan untuk bersama. Karena kami adalah
sesuatu yang berbeda…Sangat berbeda…“
7 comments
so deep so touching :') . Cinta datang tanpa mengenal perbedaan usia, agama, ras, derajat, jenis kelamin, ataupun makhluk yang berbeda. Datang dan berlalu begitu saja, tapi kenangannya membekas selamanya. two thumbs up dhira! :) sepertinya ini kali pertama kamu menulis fabel fiksi :p
ReplyDeletebeh...keren banget..:D
ReplyDeleteromantis bnget ceritanya kk^^ ngakak juga bacanya.. so sweeetttt..
ReplyDeletekak dira boleh minta almat fbnya nggak...n skypenya....
ReplyDeletekak q butuh bantuan so'alnya...
Cicak itu makanannya laba-laba ya :) tapi OverALL okedah Dalemm banget :)
ReplyDeleteboleh ya nge share di FB :) dengan sumber dari cerita mbak nadhira :D
ReplyDelete:"""""""""") terharu
ReplyDelete