#Kisah Az & An 1 : Aku, Sang Titik Fokus
February 09, 2015
"Bunda, ini apa?" Tanya dua anak mungil, berusia enam tahun bersamaan. Kedua wajah mereka penuh bekas cat lukis warna-warni. Begitu juga dengan baju kotak-kotak mereka, penuh bekas cat lukis. Rambut hitam mereka acak-acakan dan mata mereka berkilat-kilat jahil.
"Itu album foto beberapa tahun yang lalu. Ketika ayah dan bunda masih terlihat lebih muda dari sekarang. Ketika kalian belum lahir, ketika ayah dan bunda belum menikah." Jawabku seadanya.
Senyum kedua anak itu merekah. Alis kanan anak yang satu terangkat satu dan alis kiri anak yang satunya lagi, terangkat satu, "Wow, An. Kita berhasil menemukan harta karun." Ujarnya melirik kembarannya.
Kembarannya terbahak, "Sepertinya begitu, Az".
Aku menutup buku yang sedang aku baca, "Memang, kalian nemu album foto itu di mana?"
Az menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “Di di..situ, bunda.“ Ujarnya menunjuk lemari besar di ujung ruangan. Keningku berkerut. Az salah tingkah, “Iya..iyaa.. kata ayah kita berdua ga boleh ngambil apapun di lemari itu karena kita beberapa hari yang lalu bandel. Tukeran kelas terus di sekolah. Tapi kan bunda, tapi kan kita udah ga bandel lagi. Kemarin aku sampai selesai sekolah ada di kelasku terus. An juga di kelasnya. Kita ga tuker-tukeran lagi. Jadikan boleh sekarang. Ya kan?“ Az menendang ringan kaki kiri kembarannya,“Belain dong, An.“ Ujarnya bisik-bisik.
An menggaruk-garuk pipinya. Bekas cat air berwarna merah runtuh sedikit jatuh ke atas baju kotak-kotaknya, “Iya bunda, jangan salahin kita bunda. Itu bukunya seakan manggil-manggil kita berdua buat mendekat, bunda. Kayak ada sihirnya gitu, bunda.“ An berkata yakin. Kemudian berbisik-bisik ke telinga kembarannya, “Udah bener kan Az, belainnya?“
Az mengangguk cepat, “Iya bundaa, bukunya eh album fotonya kayak ngajak kita mendekat supaya dilihat. Kan kita ga salah bunda, album fotonya yang kesepian, minta ditemenin.“ Jawabnya polos.
Aku membetulkan posisi dudukku, meletakkan buku yang tadi aku baca ke atas meja, “Ya sudah, gapapa klo Az sama An mau lihat. Sini, lihat bareng-bareng sama bunda.“
“YIPPIIE!!!“ Teriak mereka bersamaan. Mereka berlari mendekatiku, tiduran dengan posisi tengkurap. Jari-jari mungil mereka membuka buku album foto berwarna coklat tua dengan tidak sabar. Mereka berhenti di halaman yang terdapat foto berukuran sedang. Di sana, hanya terdapat tiga pria dan satu wanita. “Yang ini pasti bunda, nih.“ Az bersuara. Ia berguling-guling ke arah kiri, lalu balik lagi keposisi semula, “Tapi kenapa foto tiga laki-laki yang di sebelah bunda agak ga jelas gitu? Kayak fotonya arahnya fokus ke arah bunda, doang? Az mengerutkan keningnya, heran. Otaknya mulai menganalisa.
An mengetuk-ngetukkan jari telunjuk kanannya ke atas foto, “Mereka seperti rumput yang bergoyang, seperti tidak dianggap di foto itu.“ Bicaranya mulai ngaco, sok dewasa. Seperti biasa.
Aku tersenyum jail, senyum yang mirip mereka berdua, “Ada ayah di sana. Tebak ayah di mana?“
Mereka berdua melongo, melihatku sekilas untuk meyakinkan kedua mata masing-masing bahwa bundanya ini serius berbicara. Kening Az makin berkerut, meruntuhkan sedikit bekas cat air berwarna hijau di keningnya, “Ga ada ayah di foto ini, bunda.“ Ia menyenggol saudaranya dengan sikut kanannya, lalu bisik-bisik ke telinga kembarannya,“Emang ada ayah di situ?“
An menepuk-nepuk bibirnya dengan jari telunjuknya pelan, “Mungkin, ayah ada di balik pohon, Az. Atau sedang berguling di kubangan lumpur seperti kita kemarin.“ Jawab An, yakin.
Az mengedip-ngedipkan matanya, lalu melirik ke arah kembarannya, “Ah-a, bisa jadi, An.“
Aku tertawa melihat tingkah laku mereka berdua, “Aduuh, anak-anak mungil bunda ini bagaimanaa. Masa ayahnya sendiri ga kenal? Ayah ada di situ, kok. Ayo, tebak di mana.“ Ujarku jail.
“Ga mungkin yang ini, bundaa.“ Az geleng-geleng. “Beda banget sama ayah. Yang ini juga ga mungkin, yang itu juga ga mungkin. Kok aneh sih, bunda? Masa ayah yang dulu beda sama ayah yang sekarang? Ini pasti ada yang salah. Orang ini matanya ga kayak ayah. Orang itu idungnya beda sama ayah. Ih yang mana, sih??“ Ujarnya heboh sendiri.
An mengganti posisinya menjadi duduk, memandangku dengan pandangan bertanya-tanya, “Penyihir keren mana bunda, yang bisa dengan hebatnya mengubah ayah jadi kayak sekarang? Soalnya yang di foto ga ada yang mirip ayah. Aku pengen kenalan sama penyihirnya, bunda. Biar bisa minta mantra ngubah temen sekolahku yang nyebelin, jadi kodok.“
Az terbahak, guling-guling memegang perutnya, “Aku tau yang mana, aku tau yang manaa. Ahahahahaha.“
Aku berusaha menahan tawa melihat kelakuan si kembar, “An, masa An tega ngubah temennya jadi kodok? Bukannya An ga suka sama kodok? Kalau temen An berubah jadi kodok, terus pas An tidur malem-malem, kodoknya lompat ke muka An gimana hayo? Mau ga, An?“
An membelakkan matanya, pundaknya tiba-tiba tegang, “Ga jadi, bunda. Aku salah, bunda. Untung belum ketemu penyihirnya ya, bunda. Hiiyy, geli banget. Hueks.“
Kali ini Az bangun dan duduk di sebelah An, keningnya masih berkerut dan bibirnya manyun, frustasi, “Ayah yang manaaa, bundaaaa. Di manaaa??“
Aku melirik jam dinding bulat yang menggantung di atas tumpukan container berisikan mainan anak-anak, sebentar lagi Ashar, “Kalau gitu, nanti pas ayah pulang, Az sama An bisa tanya ke ayah. Nanti pasti ayah jawabnya sambil ketawa. Soalnya bentar lagi waktunya Shalat Ashar. Az sama An mandi dulu, yuuk. Mukanya di bersihin tuh, penuh bekas cat air.“
Sengaja kami memberi nama panggilan anak kembar kami dengan panggilan Az dan An. Sebagai pengingat mereka berdua, bahwa ketika nama panggilan mereka digabungkan, membentuk suatu kata indah yaitu ‘Azan‘. Sebagai pengingat mereka berdua, jika ‘Adzan‘ berkumandang, sudah saatnya menggerakkan tubuh mereka untuk segera menunaikan Shalat. Menunaikan kewajiban mereka sebagai seorang muslim. Tidak boleh ditunda-tunda, harus segera bergerak menunaikan Shalat.
"Allah makin sayang sama kita ya bunda, kalau kita shalatnya tepat waktu ya, bundaa." Kalimat itu selalu keluar dari mulut mungil mereka, jika adzan memanggil.
Biasanya, aku mengelus kedua pipi halus mereka dengan kedua ibu jariku, "Iya benar, sayang. Anak-anak bunda, pintar-pintar sekali. Bunda, bersyukuur sekali di kasih Allah anak-anak cerdas kayak Az sama An."
Jawaban mereka selalu sama, tanpa banyak berkata, hanya memelukku dengan erat. "Ah Ya Allah, bahagianya. Alhamdulillah." Ujarku selalu begitu dalam hati.
“Bunda, tapi aku mau berendam sebentar pakai sabun cair yang kalau kena air warnanya berubah jadi ungu ya, bundaa.“ An tiba-tiba berlari ke arah ujung ruangan, mengambil sesuatu dan menunjukkan sabun cair yang ia maksud.
“Aku juga mauuu, berdua ya, Annn.“ Az membelakkan matanya, ingin juga.
An mengangguk cepat, “Iya emang aku maunya berdua makenya sama Az. Ntar kita buat gelembung-gelembung sabun bentuk singa.“ Ujar An mulai berimajinasi lagi.
Az memandangku, “Bunda, berapa lama lagi Adzan Ashar?“
Aku menoleh, melihat jam dinding lagi, “Satu jam lagi, sayang.“
Kali ini An yang bertanya, pandangan matanya ke arah jam besar di sana, “Jarum pendeknya ke angka berapa bunda, satu jam lagi itu?“
Aku tersenyum, “Kalau jarum pendek yang itu bergeser ke angka tiga, berarti tandanya sudah satu jam, sayang.“
Mata Az terbuka lebar, kedua tangannya memegang kedua pipinya, “OH NO!! Sebentar lagii! Ayoo sekarang mandinyaa, Ann!! Nanti kita ga bisa lama-lama berendem buat gelembung-gelembung, An! Let’s gooo!!“ Teriak Az heboh.
Mereka berdua kemudian berlari secepat kilat ke arah kamar mandi. Sambil berteriak riang. Dorong sana sini. Aku memandang mereka khawatir, “Az-Ann, hati-hati sayangku, intan berlianku. Kamar mandinya lantainya licin, nak.“ Ujarku mengingatkan.
“Iyaa, bundaaa.“ Ujar mereka bersamaan dari kamar mandi.
Aku memandang album foto yang terbuka. Lalu tersenyum penuh makna. Foto lama itu terbuka kembali, menyajikan hasil foto aku sebagai titik fokusnya.
Dia, memang ada di sana. Tapi bukan tiga orang lain yang berada di sampingku. Dia, si pemegang kamera. Sengaja menjadikanku sebagai titik fokusnya, sengaja menjadikan ketiga teman prianya tampak samar di sebelahku.
“Kamu, fokusku.” Aku ingat, suatu hari di Musim Hujan dia bilang begitu kepadaku.
Aku hanya memainkan air hujan yang turun dan memandangnya sekilas sambil lalu.
Ia tidak menyerah, “Sekarang, kamu fokusku, Dhira. Mulai hari ini, kamu akan lihat bahwa aku sedang memacu kudaku ke arah istanamu, mempersiapkan diriku untuk jadi imammu. Aku sudah menelpon ayahmu, beberapa hari lagi aku akan datang ke rumahmu.”
Aku memandangnya tidak percaya. Hujan tiba-tiba berhenti, menyelimuti pemandangan di depanku dengan kabut yang datang tiba-tiba. Belum sempat aku menjawab, ia melanjutkan lagi, “Ada saatnya aku tahu, bahwa cinta tak sanggup memilih. Hanya Sang Pemilik cinta lah yang dapat memilihkan cinta, hingga akhirnya Ia memilihmu untuk aku cintai. Di saat itulah aku tahu, bahwa kaulah jawaban doaku selama ini.”
Ia mengeluarkan sebuah payung berukuran sedang berwarna merah marun dari ranselnya, kemudian memberikannya kepadaku, “Hujan belum benar-benar berhenti. Aku tahu kamu tidak pernah membawa payung. Jangan pernah hujan-hujanan lagi, Dhira.”
Lalu ia pergi, menerobos kabut. Hanya bayangan samarnya yang terlihat.
Album foto itu aku tutup, lalu aku taruh ke dalam lemari besari di ujung ruangan ini. Aku memang selalu menjadi fokusnya, dia tidak pernah bohong.
Ia, sang lelaki di balik kamera,
Ayah bagi si kembar Az dan An.
Pangeranku itu, kamu :)
6 comments
Subhanallah , keren haha . smoga segera ditunjukan yang terbaik . nama anaknya keren az dan an . haha nggak nyangka kalo ayahnya itu yg pegang kamera .
ReplyDeletegara2 cerita ini aku jadi mau anak kembar heheehe.. cerita kamu keren :)
ReplyDeletekeren mbaa..
ReplyDeletesemoga ceritanya nyampe ke aku juga yaa..
hehehe aamiin :)
Fokus banget sama tulisannya :)
ReplyDeleteKeren Dhira, Salam kenal dari kalimantan :D
ReplyDeleteAyo, dhir, lanjutin terus cerita Az dan An-nya trus dijadiin novel ya ^^ Judulnya Azan: Permata Dhira *dijitak* XD
ReplyDelete