#Kisah Az & An 2 : Percobaan Roket
February 17, 2015
Semua mata tertuju pada microwave malang yang teronggok rusak tak berdaya. Bagian dalam microwave ini terdapat banyak percikan cairan lengket. Piringan berbentung bulat bening dari kaca yang biasanya berguna sebagai alas untuk menghangatkan segala hal di dalam microwave berwarna putih itu, bagian pinggirnya seperti meleleh meninggalkan jejak gosong berwarna hitam. “Ini kenapa piringan bulat bening dari kaca ini bisa kayak meleleh gini? Padahalkan dari kaca. Ini diapain emangnya?“ Suamiku, ayah bagi Az dan An mendelik marah ke arah kedua anaknya. “Ada yang bisa jelasin ke ayah, ini kenapa?“ Ujarnya tegas. Si kembar hanya berdiri tegak, tegang dan sibuk senggol-senggolan saling memberi kode supaya kembarannya yang bicara duluan.
“Az…An…ayah menunggu.“ Sang ayah memberi peringatan.
Kali ini An menarik napas, menatapku meminta dukungan. Aku hanya mengangguk dan memberi pandangan menenangkan supaya ia mau menjelaskan. An menarik nafas lagi. Kali ini lebih panjang, “An cumaa..ingin mencoba sesuatu, yah. Maksudnya, An penasaran…sama sesuatu. Terus An coba, eh terus jadinya gitu.“
Sang ayah mengerutkan keningnya, lalu mengangkat sebelah alisnya, “Ayah, ga paham.”
An menarik nafas frustasi dan menyenggol kembarannya, “Bantuin jelasin dong, Az.” Ujarnya berbisik-bisik. “Buruaan.” Ujarnya lagi, tidak sabar.
Kali ini Az maju. Lalu menggaruk-garukkan rambutnya yang tidak gatal. Bola matanya bergerak ke atas, keningnya berkerut sibuk menyusun kata-kata yang ingin ia utarakan, “Jadi kan gini, yah. An itu kan lagi seneng mainan Coca Cola tuh, yah. Kemarin Om Fikar dateng terus ngajarin An buat roket dari Coca Cola yang dimasukin beberapa Permen Mentos. Kerreenn deh yah, gara-gara ada permen mentosnya, botol yang isinya coca cola itu bisa meluncur gitu ke atas tinggi banget.” Ujar Az kemana-mana.
Sang Ayah menarik nafas, “Hubungannya apa, Az sama microwave yang rusak?”
“Adaa hubungannyaaa.” Ujar Az dan An bersamaan. “Ah, kamu aja ah An yang jelasin.” Kening Az berkerut, lalu ia mengangkat bahu.
Melihat kembarannya menyerah, An cemberut. Lalu menatap ayahnya dengan tatapan keras kepalanya karena tidak merasa bersalah, “Yaaa kann, An cuma pengen tahu, yah. Apa yang terjadi kalau botol plastik yang isinya Coca Cola yang udah di masukin permen mentos, di taruh ke dalem microwave. Jadinya gimana kalau microwavenya dinyalain.” Ujarnya berusaha memberi alasan.
Az melanjutkan menjelaskan, membantu kembarannya, “Iya, yah. An pengen tahu tuh. Roket Coca Colanya pas di taro di microwave bakalan nabrak-nabrak dinding microwavenya karena ada dorongan dari permen mentos untuk meluncur atau itu botol jadi diem aja di dalam microwave karena microwavenya panas? Gitu sih yah, sebenernya. Kan simpel kan alesannya kan.” Lalu An mengangguk-angguk setuju.
Ayah si kembar bengong, lalu melirik kepadaku dengan pandangan tidak percaya. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tiba-tiba bimbang. Bingung untuk bersikap. Di satu sisi ini bagian dari eksperimen anaknya. Ia khawatir, jika di marahi, anaknya jadi trauma dan tidak mau mencoba apapun lagi. Tapi di satu sisi, microwave itu bukan barang elektronik yang murah dan sekarang teronggok rusak tidak bisa dipakai.
“Tapi An…” Ujar suamiku lirih, “Microwave itu harganya mahal, nak. Harganya tidak murah, sayang. Ayah sama bunda harus nabung lumayan lama lho, buat beli microwave.” Suamiku akhirnya merubah posisinya, ia sekarang berjongkok menyamakan tingginya dengan kedua anaknya. Kedua mata An mulai berkaca-kaca menahan tangis, “Ya abis, An penasaraaann kann, yaahh. An kan pengen tahuu. An ga bisa tidur klo An ga dapet jawabannyaaa.” Air matanya turun, tangisannya pecah.
Suamiku melunak, jari-jari tangannya yang panjang menghapus dengan lembut air mata yang meluncur deras di pipi An, “Iya tapi kenapa An ga tanya bunda atau ayah dulu? An harus belajar untuk izin terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, nak.”
“Tapi kemarin bunda sama ayah ga ada di rumah. An kan pengen tahuu cepet-cepeet.”
“Kalau begitu An harus tunggu sampai bunda sama ayah pulang, sayang.” Kali ini aku yang berbicara.
An cemberut, lalu mengangguk sambil terisak. “An minta maaf, ga akan An ulangi lagi. Janji.” Ujarnya yakin, lalu menunduk. “Nanti kalau An pengen main-main sama kulkas, An tanya dulu deh ke Ayah sama Bunda. Beneran janjii.” Lanjutnya polos.
Aku sama suamiku saling lirik-lirikan, “Eeeeh, memangnya kulkasnya mau An apain?”
An menghapus air matanya dan melirik kembarannya, “Mau buktiin teorinya Az.” An menarik nafas, lalu melanjutkan, “An, penasaran apa yang terjadi kalau suhu kulkas sama kayak suhu ruangan. Kata Az, ide untuk menyamakan suhu kulkas dan suhu ruangan itu adalah ide yang brilian. Karena kan yah, daging, buah-buahan dan segala macam makanan itu sekali-kali harus diberi kehangatan, loh.“
“Iya yah, kasian kalau kedinginan terus malah jadi mati dan basi. Sama banget itu kayak dicerita gadis penjual korek api yang mati kedinginan di tengah salju karena ga ada yang kasih tempat berlindung. Kan kedinginan tuh dia, meninggal kan jadinya. Kan kasiaan.“ Ujar Az melanjutkan. Menjelaskan teori anehnya.
Kami berdua menahan tawa. Seperti baru ingat bahwa si kembar ini memang agak-agak ajaib. Yang satu senang bereksperimen dengan hal-hal yang aneh, yang satu lagi senang buat teori-teori yang juga ga kalah anehnya.
“Eh, teori yang benar bukan begitu, nak.“ Suamiku menjawab geli. Hilang sudah kemarahannya. Sudah merelakan kepergian microwavenya sepertinya. Tapi sebelum sempat menjelaskan teori sebenarnya lebih lanjut, Az memotong “Eh tapi ayah sama bunda ga perlu khawatir. Microwave ini emang seharusnya dirusakin aja. Soalnya, udah tua. Sudah saatnya kan ganti yang baru.“ Ujarnya ringan.
Aku menatap Az tidak mengerti. Suamiku juga sama. Terkadang, kami ini suka tidak paham maksud kedua anak kembar kami. Mereka punya banyak bahasa yang hanya mereka sendiri yang mengerti dan bicaranya suka sepotong-sepotong. Sekalipun menjelaskan, kemana-mana penjelasannya. “Maksud Az, apa? Harga microwave itu ga murah loh, sayang. Memangnya Az punya uang untuk belinya?“ Tanyaku penasaran.
Az menggeleng, “Ngga punya. Tapi Az udah dapet microwave baru pengganti microwave yang tua ini. Lebih bagus dong, yah..beneran.” Ujarnya yakin.
Lagi-lagi aku dan suamiku saling pandang, “Maksudnya gimana, Az? Ayah ga ngerti.”
Tiba-tiba An tertawa, guling-guling di atas lantai. Saking semangat guling-gulingnya, kaos lengan pendeknya naik sampai perut, “Oh iyaa, aku baru ingeet. Aku baru ingeett Az. Hahahaha.” Si kembar tertawa kencang. Hanya orang tuanya yang tidak mengerti apa maksudnya.
Tawa itu berlangsung cukup lama. Kami hanya bisa menunggu, seolah sayang menganggu kedua anak kembar kami yang sedang tergelak tertawa bahagia.
“Ah kamu nih, bukannya bilang dari tadi. Kan aku ga perlu nangis segalaa.” Ujar An pada akhirnya, protes.
Az masih tertawa, “Aku juga lupa tadi, An. HAHAHAHA”
Pintu depan di ketuk, adik laki-lakiku Asa dan istrinya Bila, masuk dengan membawa kardus besar bergambar microwave berwarna hitam legam. Ia menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya, “Mba, enak bener punya anak yang setiap ada door prize, pasti nomor yang dipegang yang menang.” Ujarnya sedikit kesal. “Aku nungguin dari siang pengumuman pemenang door prize tujuh belasan, ga dapet apa-apa. Az tiba-tiba dateng bawa nomor door prize, eh nomor dia yang kepanggil dapet microwave. Nyebelin banget.”
“Iya tuh, mana microwavenya bagus banget lagi, mba. Aku udah ngincer dari awal ngeliat itu microwave dipajang di panggung. Makanya aku sama Mas Asa rela nungguin sampe sore. Ehh, Az yang dapet. Huuu Az curang Huuu. Microwave tante di ambiil.” Bila protes juga.
Dari tadi, kayaknya hanya kami berdua yang tidak tahu apa-apa. Hanya bisa lirik-lirikan dan mengerutkan kening, “Apa sih, maksudnya?” Suamiku jadi gregetan, penasaran.
Asa menaruh kardus berat microwave yang ia pegang ke atas lantai, lalu mengambil microwave hitam baru itu dan menaruhnya ketempat dimana microwave lama dulu berada, “Iya itu mas, kemarin kan ada jogging bareng satu komplek, buat memperingati tujuh belas agustusan gitu. Yang ikutan jogging dapet nomor door prize. Berhubung, mba sama mas ga ada di rumah kan, jadinya ini bocah kembar berdua ikut kita jogging pagi-pagi sama warga komplek ngiterin komplek sampe ke kampung belakang. Karena mereka ikutan jogging kann, dapet deh tuh mereka, nomor door prize.”
“Dan menangin hadiah utama lagi tuh, ngeselin. Padahal, kemaren bilangnya ga tertarik sama doorprizenya, makanya pulang. Eh sore-sore malah balik lagi. Huuu, Az sama An ga asik banget.” Bila menambahkan, masih ga terima microwave incerannya melayang.
“Yang lebih ngeselinnya ya, yang..“ Ujarnya kepada istrinya. “Ini microwave harus kita yang bawa kan, karena mereka berdua ga kuat bawanya. Dititipin deh semaleman di rumah kita. Nyebelin banget seharian ngeliatin microwave ini di rumah.”
“Iya nih, mas. Sakitnya tuh di sini ya, masss. Huuhh.” Jawab Bila masih terdengar kesal.
Az berkacang pinggang ga terima, An ikut-ikutan juga. Lalu bergerak mendekat ke arah om dan tantenya, “Tadinya juga aku ga tertarik sama door prizenya. Abis hadiah door prizenya ga ada mainan, sih. Tapi nih, gara-gara An ngerusakin microwave, aku tiba-tiba jadi dapet ide brilian. Tiba-tiba inget klo hadiah utama doorprizenya kan, microwave. Kalau menang kan lumayan, jadinya kita berdua ga akan di marahin sama ayah dan bunda. Langsung deh, aku sama An lari keluar ke tempat acara panggung tujuh belasan, kali aja nomor doorprize yang tadi kita punya, menangin microwave ya, An.”
An ngangguk-ngangguk antusias, “Dan taunya menaang. Weee. AHAHAHAHHAHA” Mereka berdua tertawa terbahak-bahak lagi.
Asa dan Bila, gregetan. Tangan mereka bergerak otomatis berusaha menjitak kepala kedua keponakannya. Kedua anak kembar ini dengan sigap berlari berlindung ke belakang ayah dan bundanya, “Tuh buunn, masa kita menangin microwave malah mau dijitak, buun. Om Asa sama Tante Bila terima nasib aja kenapaa, IH. HAHAHA”
Asa makin kesel, “Ini bocah dua yaaa, ANAKNYA SIAPA SIH??”
Suamiku tertawa kencang, aku juga. Ia melirikku, lalu menjawab, “Anaknya bundanyalah kalau pas lagi jail. Persis banget tuh kayak bundanya klo lagi aneh-aneh gitu.”
Aku bengong, “Eeehh, mas sembarangan niih.” Ujarku protes, lalu mencubit ringan lengan suamiku
“Nggak kok, kalau lagi beruntung kayak gitu tuh, baru anaknya ayah. Keberuntungan yang turun ke anak itu namanya. Tuh liat aja, buktinya berhasil pulang bawa microwave tuh mereka.” Ujar suamiku makin menjadi.
Asa ngangguk-ngangguk, setuju, “Emang bener sih, mas. Dari dulu Mba Dhira emang rada-rada aneh-aneh gitu kelakuannya. Persis nih, kayak dua bocah ini nih.”
“HEH!” Ujarku ga terima. Aku langsung bergerak otomatis ingin men-smack down adik laki-lakiku ke atas lantai. An yang sedang memeluk kakiku dari belakang, ikutan ketarik-tarik dan dia tertawa puas. “Ayoo buunn, lanjut buunn. Masa kita dibilang aneeh. Haiiyaaa.”
Seisi rumah heboh. Asa berusaha menghindar, Bila berusaha melindungi suaminya, “AAAA, mass. Ati-ati kena tonjok serangan muay thainya mba dhiraa.”
“Iyaa makanya, yaaang. Bantuin dong inii, ntar klo ke tonjok, kegantengan mas Asa berkurang, nih. Kan ga lucuu.” Asa teriak-teriak.
Kehebohan terus berlanjut. Rumah ini memang tidak pernah tenang. Dari sudut ruangan, microwave baru berwarna hitam seperti memperhatikan kelakuan penghuni rumah tempat ia sekarang tinggal. Sepertinya sang microwave baru ini, harus mulai beradaptasi mengatasi kami yang tidak pernah tenang.
Microwave tua ini akhirnya tersisihkan oleh percobaan iseng anakku dan digantikan dengan ide tiba-tiba anakku yang lain, sehingga mendapatkan pengganti microwave baru yang warnanya lebih keren dan lebih canggih kualitasnya.
Jadi kesimpulannya, "You win some, you lose some, right?" haha
********************
Cerita pertama Az dan An : ( Aku, Sang Titik Fokus : http://www.nadhiraarini.com/2015/02/aku-sang-titik-fokus.html )
“Az…An…ayah menunggu.“ Sang ayah memberi peringatan.
Kali ini An menarik napas, menatapku meminta dukungan. Aku hanya mengangguk dan memberi pandangan menenangkan supaya ia mau menjelaskan. An menarik nafas lagi. Kali ini lebih panjang, “An cumaa..ingin mencoba sesuatu, yah. Maksudnya, An penasaran…sama sesuatu. Terus An coba, eh terus jadinya gitu.“
Sang ayah mengerutkan keningnya, lalu mengangkat sebelah alisnya, “Ayah, ga paham.”
An menarik nafas frustasi dan menyenggol kembarannya, “Bantuin jelasin dong, Az.” Ujarnya berbisik-bisik. “Buruaan.” Ujarnya lagi, tidak sabar.
Kali ini Az maju. Lalu menggaruk-garukkan rambutnya yang tidak gatal. Bola matanya bergerak ke atas, keningnya berkerut sibuk menyusun kata-kata yang ingin ia utarakan, “Jadi kan gini, yah. An itu kan lagi seneng mainan Coca Cola tuh, yah. Kemarin Om Fikar dateng terus ngajarin An buat roket dari Coca Cola yang dimasukin beberapa Permen Mentos. Kerreenn deh yah, gara-gara ada permen mentosnya, botol yang isinya coca cola itu bisa meluncur gitu ke atas tinggi banget.” Ujar Az kemana-mana.
Sang Ayah menarik nafas, “Hubungannya apa, Az sama microwave yang rusak?”
“Adaa hubungannyaaa.” Ujar Az dan An bersamaan. “Ah, kamu aja ah An yang jelasin.” Kening Az berkerut, lalu ia mengangkat bahu.
Melihat kembarannya menyerah, An cemberut. Lalu menatap ayahnya dengan tatapan keras kepalanya karena tidak merasa bersalah, “Yaaa kann, An cuma pengen tahu, yah. Apa yang terjadi kalau botol plastik yang isinya Coca Cola yang udah di masukin permen mentos, di taruh ke dalem microwave. Jadinya gimana kalau microwavenya dinyalain.” Ujarnya berusaha memberi alasan.
Az melanjutkan menjelaskan, membantu kembarannya, “Iya, yah. An pengen tahu tuh. Roket Coca Colanya pas di taro di microwave bakalan nabrak-nabrak dinding microwavenya karena ada dorongan dari permen mentos untuk meluncur atau itu botol jadi diem aja di dalam microwave karena microwavenya panas? Gitu sih yah, sebenernya. Kan simpel kan alesannya kan.” Lalu An mengangguk-angguk setuju.
Ayah si kembar bengong, lalu melirik kepadaku dengan pandangan tidak percaya. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tiba-tiba bimbang. Bingung untuk bersikap. Di satu sisi ini bagian dari eksperimen anaknya. Ia khawatir, jika di marahi, anaknya jadi trauma dan tidak mau mencoba apapun lagi. Tapi di satu sisi, microwave itu bukan barang elektronik yang murah dan sekarang teronggok rusak tidak bisa dipakai.
“Tapi An…” Ujar suamiku lirih, “Microwave itu harganya mahal, nak. Harganya tidak murah, sayang. Ayah sama bunda harus nabung lumayan lama lho, buat beli microwave.” Suamiku akhirnya merubah posisinya, ia sekarang berjongkok menyamakan tingginya dengan kedua anaknya. Kedua mata An mulai berkaca-kaca menahan tangis, “Ya abis, An penasaraaann kann, yaahh. An kan pengen tahuu. An ga bisa tidur klo An ga dapet jawabannyaaa.” Air matanya turun, tangisannya pecah.
Suamiku melunak, jari-jari tangannya yang panjang menghapus dengan lembut air mata yang meluncur deras di pipi An, “Iya tapi kenapa An ga tanya bunda atau ayah dulu? An harus belajar untuk izin terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, nak.”
“Tapi kemarin bunda sama ayah ga ada di rumah. An kan pengen tahuu cepet-cepeet.”
“Kalau begitu An harus tunggu sampai bunda sama ayah pulang, sayang.” Kali ini aku yang berbicara.
An cemberut, lalu mengangguk sambil terisak. “An minta maaf, ga akan An ulangi lagi. Janji.” Ujarnya yakin, lalu menunduk. “Nanti kalau An pengen main-main sama kulkas, An tanya dulu deh ke Ayah sama Bunda. Beneran janjii.” Lanjutnya polos.
Aku sama suamiku saling lirik-lirikan, “Eeeeh, memangnya kulkasnya mau An apain?”
An menghapus air matanya dan melirik kembarannya, “Mau buktiin teorinya Az.” An menarik nafas, lalu melanjutkan, “An, penasaran apa yang terjadi kalau suhu kulkas sama kayak suhu ruangan. Kata Az, ide untuk menyamakan suhu kulkas dan suhu ruangan itu adalah ide yang brilian. Karena kan yah, daging, buah-buahan dan segala macam makanan itu sekali-kali harus diberi kehangatan, loh.“
“Iya yah, kasian kalau kedinginan terus malah jadi mati dan basi. Sama banget itu kayak dicerita gadis penjual korek api yang mati kedinginan di tengah salju karena ga ada yang kasih tempat berlindung. Kan kedinginan tuh dia, meninggal kan jadinya. Kan kasiaan.“ Ujar Az melanjutkan. Menjelaskan teori anehnya.
Kami berdua menahan tawa. Seperti baru ingat bahwa si kembar ini memang agak-agak ajaib. Yang satu senang bereksperimen dengan hal-hal yang aneh, yang satu lagi senang buat teori-teori yang juga ga kalah anehnya.
“Eh, teori yang benar bukan begitu, nak.“ Suamiku menjawab geli. Hilang sudah kemarahannya. Sudah merelakan kepergian microwavenya sepertinya. Tapi sebelum sempat menjelaskan teori sebenarnya lebih lanjut, Az memotong “Eh tapi ayah sama bunda ga perlu khawatir. Microwave ini emang seharusnya dirusakin aja. Soalnya, udah tua. Sudah saatnya kan ganti yang baru.“ Ujarnya ringan.
Aku menatap Az tidak mengerti. Suamiku juga sama. Terkadang, kami ini suka tidak paham maksud kedua anak kembar kami. Mereka punya banyak bahasa yang hanya mereka sendiri yang mengerti dan bicaranya suka sepotong-sepotong. Sekalipun menjelaskan, kemana-mana penjelasannya. “Maksud Az, apa? Harga microwave itu ga murah loh, sayang. Memangnya Az punya uang untuk belinya?“ Tanyaku penasaran.
Az menggeleng, “Ngga punya. Tapi Az udah dapet microwave baru pengganti microwave yang tua ini. Lebih bagus dong, yah..beneran.” Ujarnya yakin.
Lagi-lagi aku dan suamiku saling pandang, “Maksudnya gimana, Az? Ayah ga ngerti.”
Tiba-tiba An tertawa, guling-guling di atas lantai. Saking semangat guling-gulingnya, kaos lengan pendeknya naik sampai perut, “Oh iyaa, aku baru ingeet. Aku baru ingeett Az. Hahahaha.” Si kembar tertawa kencang. Hanya orang tuanya yang tidak mengerti apa maksudnya.
Tawa itu berlangsung cukup lama. Kami hanya bisa menunggu, seolah sayang menganggu kedua anak kembar kami yang sedang tergelak tertawa bahagia.
“Ah kamu nih, bukannya bilang dari tadi. Kan aku ga perlu nangis segalaa.” Ujar An pada akhirnya, protes.
Az masih tertawa, “Aku juga lupa tadi, An. HAHAHAHA”
Pintu depan di ketuk, adik laki-lakiku Asa dan istrinya Bila, masuk dengan membawa kardus besar bergambar microwave berwarna hitam legam. Ia menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya, “Mba, enak bener punya anak yang setiap ada door prize, pasti nomor yang dipegang yang menang.” Ujarnya sedikit kesal. “Aku nungguin dari siang pengumuman pemenang door prize tujuh belasan, ga dapet apa-apa. Az tiba-tiba dateng bawa nomor door prize, eh nomor dia yang kepanggil dapet microwave. Nyebelin banget.”
“Iya tuh, mana microwavenya bagus banget lagi, mba. Aku udah ngincer dari awal ngeliat itu microwave dipajang di panggung. Makanya aku sama Mas Asa rela nungguin sampe sore. Ehh, Az yang dapet. Huuu Az curang Huuu. Microwave tante di ambiil.” Bila protes juga.
Dari tadi, kayaknya hanya kami berdua yang tidak tahu apa-apa. Hanya bisa lirik-lirikan dan mengerutkan kening, “Apa sih, maksudnya?” Suamiku jadi gregetan, penasaran.
Asa menaruh kardus berat microwave yang ia pegang ke atas lantai, lalu mengambil microwave hitam baru itu dan menaruhnya ketempat dimana microwave lama dulu berada, “Iya itu mas, kemarin kan ada jogging bareng satu komplek, buat memperingati tujuh belas agustusan gitu. Yang ikutan jogging dapet nomor door prize. Berhubung, mba sama mas ga ada di rumah kan, jadinya ini bocah kembar berdua ikut kita jogging pagi-pagi sama warga komplek ngiterin komplek sampe ke kampung belakang. Karena mereka ikutan jogging kann, dapet deh tuh mereka, nomor door prize.”
“Dan menangin hadiah utama lagi tuh, ngeselin. Padahal, kemaren bilangnya ga tertarik sama doorprizenya, makanya pulang. Eh sore-sore malah balik lagi. Huuu, Az sama An ga asik banget.” Bila menambahkan, masih ga terima microwave incerannya melayang.
“Yang lebih ngeselinnya ya, yang..“ Ujarnya kepada istrinya. “Ini microwave harus kita yang bawa kan, karena mereka berdua ga kuat bawanya. Dititipin deh semaleman di rumah kita. Nyebelin banget seharian ngeliatin microwave ini di rumah.”
“Iya nih, mas. Sakitnya tuh di sini ya, masss. Huuhh.” Jawab Bila masih terdengar kesal.
Az berkacang pinggang ga terima, An ikut-ikutan juga. Lalu bergerak mendekat ke arah om dan tantenya, “Tadinya juga aku ga tertarik sama door prizenya. Abis hadiah door prizenya ga ada mainan, sih. Tapi nih, gara-gara An ngerusakin microwave, aku tiba-tiba jadi dapet ide brilian. Tiba-tiba inget klo hadiah utama doorprizenya kan, microwave. Kalau menang kan lumayan, jadinya kita berdua ga akan di marahin sama ayah dan bunda. Langsung deh, aku sama An lari keluar ke tempat acara panggung tujuh belasan, kali aja nomor doorprize yang tadi kita punya, menangin microwave ya, An.”
An ngangguk-ngangguk antusias, “Dan taunya menaang. Weee. AHAHAHAHHAHA” Mereka berdua tertawa terbahak-bahak lagi.
Asa dan Bila, gregetan. Tangan mereka bergerak otomatis berusaha menjitak kepala kedua keponakannya. Kedua anak kembar ini dengan sigap berlari berlindung ke belakang ayah dan bundanya, “Tuh buunn, masa kita menangin microwave malah mau dijitak, buun. Om Asa sama Tante Bila terima nasib aja kenapaa, IH. HAHAHA”
Asa makin kesel, “Ini bocah dua yaaa, ANAKNYA SIAPA SIH??”
Suamiku tertawa kencang, aku juga. Ia melirikku, lalu menjawab, “Anaknya bundanyalah kalau pas lagi jail. Persis banget tuh kayak bundanya klo lagi aneh-aneh gitu.”
Aku bengong, “Eeehh, mas sembarangan niih.” Ujarku protes, lalu mencubit ringan lengan suamiku
“Nggak kok, kalau lagi beruntung kayak gitu tuh, baru anaknya ayah. Keberuntungan yang turun ke anak itu namanya. Tuh liat aja, buktinya berhasil pulang bawa microwave tuh mereka.” Ujar suamiku makin menjadi.
Asa ngangguk-ngangguk, setuju, “Emang bener sih, mas. Dari dulu Mba Dhira emang rada-rada aneh-aneh gitu kelakuannya. Persis nih, kayak dua bocah ini nih.”
“HEH!” Ujarku ga terima. Aku langsung bergerak otomatis ingin men-smack down adik laki-lakiku ke atas lantai. An yang sedang memeluk kakiku dari belakang, ikutan ketarik-tarik dan dia tertawa puas. “Ayoo buunn, lanjut buunn. Masa kita dibilang aneeh. Haiiyaaa.”
Seisi rumah heboh. Asa berusaha menghindar, Bila berusaha melindungi suaminya, “AAAA, mass. Ati-ati kena tonjok serangan muay thainya mba dhiraa.”
“Iyaa makanya, yaaang. Bantuin dong inii, ntar klo ke tonjok, kegantengan mas Asa berkurang, nih. Kan ga lucuu.” Asa teriak-teriak.
Kehebohan terus berlanjut. Rumah ini memang tidak pernah tenang. Dari sudut ruangan, microwave baru berwarna hitam seperti memperhatikan kelakuan penghuni rumah tempat ia sekarang tinggal. Sepertinya sang microwave baru ini, harus mulai beradaptasi mengatasi kami yang tidak pernah tenang.
Microwave tua ini akhirnya tersisihkan oleh percobaan iseng anakku dan digantikan dengan ide tiba-tiba anakku yang lain, sehingga mendapatkan pengganti microwave baru yang warnanya lebih keren dan lebih canggih kualitasnya.
Jadi kesimpulannya, "You win some, you lose some, right?" haha
********************
Cerita pertama Az dan An : ( Aku, Sang Titik Fokus : http://www.nadhiraarini.com/2015/02/aku-sang-titik-fokus.html )
11 comments
Gokil banget dah keluarga ini bhahaha, itu si kembar jahil nya ampun dah -,-
ReplyDeleteTapi kereeen banget, cerita nya. Di lanjutin trs bisa jd novel mbak hihii
Aku ngebayangin banget..
ReplyDeleteKerenlah ceritanya Mba Dhira...
Ceritanya bagus, lucu asik, seperti nyata mengalir apa adanya. Nice.
ReplyDeleteMasya Allah dhiraaa. Kereeen. Ceritanya ga terduga akhirnya. Hidup banget, meriah ^^
ReplyDeletewaah kak, bagus bgt ceritanya. Eh, emg kakak udh nikah? :D
ReplyDeletewaah kak, bagus bgt ceritanya. Eh, emg kakak udh nikah? :D
ReplyDeleteCengar-cengir sendiri waktu baca cerita ini... :)
ReplyDeleteCengar-cengir sendiri waktu baca cerita ini... :)
ReplyDeleteImajinasi mu memang aneh dhir,,tapi bagus,, sama kek atas ane nih ,, aku yg baca juga cengar cengir sendiri,, bagus!!
ReplyDeletehahaha :D
ReplyDeletehahaha.. keren mba dhira..
ReplyDeletepengen nyubit si kembar deh, gemeeeeess :*