#Kisah Az & An 4 : Maafin Kami ya, Bunda...

March 19, 2015

“Ayah sih, gara-garanya.“ Az cemberut menatap ayahnya.
Sang ayah membelakkan kedua matanya, “Loh, kok ayah yang disalahin? Kan yang salah kita bertiga.“
An menyenggol kaki ayahnya dengan pantatnya, “Kan ayah udah gede, jadi ayah yang salah dong.“ Ujar An tidak terima.

Kejadian menjengkelkan itu terjadi untuk kesekian kalinya. Anak-anak pergi berenang bersama ayahnya, aku ditinggal sendiri belanja kebutuhan bulanan. Harusnya, aku dijemput setelah mereka selesai bersenang-senang. Tapi si kembar dan ayahnya lupa. Langsung pulang ke rumah, yang artinya karena kecapean mereka jadi tertidur pulas di rumah. Terus bundanya ini dibiarin nunggu berjam-jam di dalam mall dengan barang belanjaan yang tingginya hampir menyamai Gunung Everest. Lebay memang. Biarin aja, kesel abisnya.

Di telpon berkali-kali ga diangkat. Yaiyalah, ditinggal tidur.
Di sms berkali-kali ga dijawab. Yaiyalah, ditinggal tidur. 
Ya ampun, emang mereka punya bunda berapa sih, sampe dilupain begitu aja?
Memangnya suamiku itu punya istri berapa sih, sampe istri yang ini ga diinget? Terus dibiarin nunggu berjam-jam di tengah hujan deras dengan barang belanjaan segunung pula. Jahaaat.

Oke, ini ngeselin.
Karena sudah lebih dari tiga jam menunggu, aku pulang dengan menyewa mobil yang memang disediakan di dekat mall ini. Harus menyewa mobil. Naik taksi ga akan muat. Barang belanjaannya banyak banget gini. Tega banget sih ini si kembar dan suamiku ini. Tega pokoknya tegaaa. Sampai hampir menangis aku ini rasanya.

Sampai di gerbang rumah, ternyata pintu gerbang di gembok sama mereka. Gara-gara rumor banyak pencuri di daerah komplek rumahku. Di pencet bel berkali-kali tidak ada yang menyahut. Hujan turun deras sekali sampe bajuku basah kuyup. Sang supir mobil sewaanpun sampai kasihan melihatku dan memintaku untuk masuk lagi ke dalam mobil. Kok reseee, siih.

Tapi sebelum masuk mobil, pintu rumah dibuka dari dalam. Tiga kepala muncul dari sana dengan muka kesal, seolah sehabis diganggu tidurnya. Muka mereka yang tadinya kesal, tiba-tiba mendadak berubah terkejut melihatku berdiri di depan gerbang, kehujanan, “Bunda dari man…YA AMPUUN!!“ Az tiba-tiba teriak, baru ingat. Dia langsung senggol-senggol kembarannya terus melirik ke ayahnya. Sang ayah yang juga baru ingat menggerakkan tangannya refleks untuk memukul keningnya sendiri. An menutup kedua mulutnya, tapi sayup-sayup terdengar dia berucap, “O-ow we…have…..problem.“


****
Mereka bertiga diam dan menatapku dalam diam. Aku juga diam sambil memasak makan malam untuk mereka. Tak ada canda tawa, rumah ini hening seperti tidak ada penghuninya. Padahal, ada empat orang di dalamnya. Kepalaku pusing, mulai merasa tidak enak badan karena kehujanan.

Si kembar dan ayahnya menunggu dengan manis di atas meja makan. Mereka saling lirik-lirikan. Belum ada yang berani memulai percakapan. Aku mendekati mereka hanya sekedar untuk meletakkan makan malam yang baru selesai di masak. Tanpa banyak bicara lagi, aku bergerak ke arah kamar utama. Badan ini sudah tidak tahan. Sepertinya aku demam.


****

Pintu di buka, suamiku masuk. Kepalaku berat, hatiku juga berat karena masih kesal. Suamiku duduk dipinggir tempat tidur, persis disebelahku. “Bunda…” Ujarnya pelan, berusaha meraih tanganku. Tapi tangan ini otomatis menepisnya, “Ayah jangan pegang-pegang, ah. Bunda kesel pokoknya. Nyebelin.”

Suamiku menarik nafas berat, merasa bersalah, “Iya maaf, sayang. Kali ini ga ada alasan, memang ayah yang salah sampai lupa begini.” Ujarnya berusaha bergeser mendekat. “Mas harus ngelakuin apa supaya ade maafin mas?” Ujar suamiku memohon.

Aku sudah tidak sanggup menjawab lagi, karena kepalaku berat sekali. Sampai tidak sadar kalau suamiku sudah benar-benar dekat. Aku melihat sekilas, suamiku mengerutkan keningnya. Ia menggerakkan tangannya ke atas keningku, “Astaghfirullah, bunda. Badannya panas sekali.” Ia bergerak gugup karena panik. “Pasti ini gara-gara kehujanan tadi ya? Ya Allah sayang, maafin mas ya. Harus dikompres dulu ini. ” Ujarnya buru-buru. Wajahnya terlihat panik luar biasa. Ia berdiri dan langsung berlari keluar kamar untuk mengambil baskom kecil sebagai tempat mengompres.

Pintu terbuka lebar, Az dan An masuk ke dalam kamar. Mereka berdua langsung naik ke atas tempat tidur dan mendekatiku. “Bunda kenapaaa?? Bunda sakit, ya? Gara-gara tadi, ya? Huaaa..maafin kita, bundaa.” An mulai terisak, Az juga.

Tidak tega aku melihat mereka berdua menangis. Hatiku mulai melunak, “Ga papa, sayangku. Ini cuma demam dikit, kok. Paling juga besok udah mendingan, sayang.“

Suamiku datang membawa baskom kecil berisi air dan waslap untuk mengompres, “Anak-anak, sudah waktunya tidur. Ayo, ke kamar. Biar ayah yang jagain bunda, ya..“ Ujar suamiku lembut.

Si kembar masih menangis, dua-duanya menggeleng keras kepala, “Ga mau pokoknya, mau di sini sampe besok. Mau tungguin bunda sampe sembuh pokoknyaaa..huaaa.“ Teriak mereka bersamaan.
“Tapi…ntar bunda jadi ga bisa istirahat, nak. Ayo, ke kamar sekarang.“ Suamiku masih bersikeras. Az sama An juga sama kerasnya, “Ga mauu. Ayah aja yang tidur sekarang di kamar kita. Kita jagain bunda di sini berdua pokoknya. Lagian besok libur sekolah. Jadikan ga papa bobo telat dikit kan yah. Boleh dong, yah.“ Mereka berdua masih memohon.

Suamiku melirikku minta persetujuan. Aku belum sempat menjawab, ketika Az tiba-tiba berkata lagi, “Kalau bunda sama ayah bisa ga tidur semaleman jagain kita waktu kita berdua sakit, kenapa kita nggak, yah? Kita berdua juga bisa kok, jagain bunda sampe besok pagi. Iya kan, An?“

An ngangguk-ngangguk setuju, “Bener Az. Kita berdua bisa gantian ngompres bunda kan, Az. Atau bacain dongeng, biar bunda tidurnya lelap kayak bunda tiap hari bacain dongeng buat kita kan, Az. Waktu kita berdua sakit juga, bunda tetep bacain dongeng buat kita. Terus kita jadi bisa obob nyenyak banget kan, Az.“

“Bobo, An bukan Obob.“ Ujar suamiku mengoreksi. An mengerutkan keningnya ga setuju, “Sama aja, ayah. Bobo kan klo di baca kebalik jadi obob. Sama aja, ah samaa. Udah ayah obob aja di kamar kita berduaa. An sama Az mau tetep di sini pokoknyaa.“

Az bisik-bisik di telingaku pelan, An juga ikutan maju supaya bisa mendengar apa yang diucapkan kembarannya kepadaku, “Bunda mau dibacain dongeng ga, biar obobnya nyenyak? Ntar kita berdua gantian bacain dongeng Kleine Prinz buat bunda, gimana?“ Selesai bicara Az nyengir lebar penuh harap. An ngangguk-ngangguk setuju.

Der kleine Prinz, salah satu dongeng pengantar tidur dalam Bahasa Jerman yang sering aku bacakan untuk mereka setiap malam. Artinya, Pangeran Kecil. Salah satu buku dongeng favorit mereka. Aku mengangguk tanda setuju. Si kembar teriak girang, lalu mereka berdua melesat ke ruangan buku.

Suamiku menatapku khawatir, “Yakin bisa istirahat, sayang? Kalau keganggu, nanti mas bilang ke si kembar supaya tetap tidur di kamarnya.”
Aku menggeleng pelan, “Ga papa, mas. Ade seneng ngeliatnya, mereka so sweet sekali. Gemes jadinya. Ini malah jadi rada mendingan, ngeliat kelakuan mereka dari tadi.” Ujarku tersenyum. Suamiku mengangguk maklum, lalu menggerakkan tangannya untuk menaruh kompres di atas kepalaku.

“Bunda…bunda! Kita mau bacain cerita Der Kleine Prinz und der Goldfisch, yaa..” Ujar Az semangat lalu naik ke tempat tidur. An berusaha mengikuti kembarannya naik, “Iya bunda, kita mau dongengin bunda tentang si pangeran kecil sama ikan emas. Seruu tuh seruu, ya Az.” An berkata penuh semangat. Tapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, “Klo kamu duduk di sebelah bunda, terus aku duduk di sebelah mana dong, Az? Aku mau deket bunda juga, doongg.” An protes.

Sebelum terjadi aksi tarik-tarikan baju dan baku hantam, suamiku bergerak cepat, “Az geser sampe ujung kasur dempet ke tembok, ya. Bunda geser ke tengah posisinya. Terus An bisa duduk di sebelah kanan bunda, okay? Ayah tidur di sebelah An, biar nanti An ga jatuh ke bawah pas tidur ya. Jadi kita hari ini tidur berempat di sini. Eits, ga boleh protes pokoknya. Ayah juga ga mau bobo sendirian di kamar kalian berdua. Ayah mau temenin bunda juga, wee.” Ujar suamiku sambil tertawa.

Si kembar tersenyum lebar, lalu segera bergeser. Aku juga. Setelah kita semua ada di posisi masing-masing, Az dapat giliran pertama membaca buku untukku setelah menang suit. Ia membuka buku ceritanya dan mulai membaca pelan, “Eines schönes Tages setze sich der Kleine Prinz…”

Seakan tersihir, ternyata usaha mereka membacakan dongeng mulai berhasil. Aku benar-benar mengantuk dan sukses tertidur dalam beberapa menit kemudian. Ntah apa yang terjadi setelahnya, aku bangun keesokan paginya. Tapi anak-anak dan suamiku tidak ada di kamar. 

Kemana mereka?

Akhirnya aku terduduk di atas tempat tidur. Sepertinya demamku sudah turun. Kepalaku sudah tidak berat lagi. Sekarang, sayup-sayup terdengar suara mereka dari arah dapur. Sepertinya mereka sedang melakukan kegiatan seru. Aku penasaran, jadi ku langkahkan kakiku ke sana.

Di atas meja makan, sudah tersusun sarapan pagi yang menggiurkan, wow. “Sudah mendingan, sayang?” Suamiku datang dari arah taman belakang. Aku mengangguk sambil nyengir lebar, “Kayaknya sarapannya enak nih, mas.”

Suamiku menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, “Eehh, iya nih. Sarapan beli, sih. Tadi anak-anak heboh pengen nyiapin sarapan. Tapi bakal makan waktu lama kalau ngebiarin mereka ngacak-ngacak dapur. Jadinya, beli aja deh hehe. Buat ade makannya bubur ayam, ya. Ga boleh nasi uduk. Itu punya kita bertiga.” Ujar suamiku jail.
Aku cemberut, “IIHH, CURAANGG. Ade maunya nasi uduuuk, maasss. Gamau bubur ayaammm. Lagi gamau makan ituu. Tukerraann.” Ujarku merajuk. Az datang dari arah taman belakang juga dan langsung berucap setengah berteriak, “NO NO NO, BUNDAA. Bunda kan baru sembuh sakit, makannya harus yang lembut-lembut dulu. Ga boleh makan nasi uduk, ga boleeh. Haram bunda, haraam.” Az mengerutkan keningnya tanda tidak setuju.

Sebelum aku sempat membalas, An datang dari arah ruangan tempat mencuci baju. Rambutnya penuh busa sabun, bajunya sedikit basah terkena cipratan air, “Rrr..we have problem everyone. An bingung, kenapa baju yang tadi An cuci, warnanya jadi pada putih semua gitu ya? Padahal, detergennya udah bener sama pewanginya juga kayaknya.” Tanyanya polos sambil memegang sesuatu di tangan kanannya.

Suamiku mendekati An, “Terus kenapa An bawa-bawa Bayclin? Buat apa memangnya?” Terjawab sudah, benda apa yang dipegang An di tangan kanannya. An melirik ayahnya kesal, “Ya ini kan pewanginya, yaah. Gimana, sih?” Suamiku menepuk jidatnya, “Bacylin itu bukan pewangi, naaak. Itu pemutih bajuuu. Kan ada tulisannya di situ, jelas banget, sayaangg.”

An bengong, tapi dia hanya mengangkat bahunya tanpa rasa bersalah, “Yaa kan salah Bayclinnya, yah. Harusnya kan, pas aku salah ngambil tadi, Bayclinnya teriak ngingetin ‘Heyy, aku pemutih bukan pewangiii!‘ Lah, dianya diem aja kok, yah. An mana tahu kalau ga diingetin.” Ujarnya mulai ngaco lagi. “Maaf deh, yah. Udah terlanjur tapinya. Terus baju ayah yang paling ancur jadinya. Warnanya jadi buluk ga jelas gitu, yah. Jangan salahkan An ya, yah. Salahkanlah Bayclin yang tidak berbicara ketika ia seharusnya protes disangka pewangi.” Ujarnya enteng. Lalu An balik lagi ke arah ruangan cuci baju, sambil bersenandung riang.

Suamiku belum sempat marah, tapi jadinya ia hanya tertawa miris, “Kasian bener, nasip bajukuu. Bentar lagi dijadiin kain pel deh sama ade.” Ujarnya pasrah sambil melirik ke arahku. 

Aku ketawa renyah, terhibur dengan kelakuan suami dan anak-anakku pagi ini. Hilang sudah amarah kemarin. Rasa khawatir mereka yang terpancar jelas kemarin malam, usaha mereka untuk membantu pekerjaan rumahku pagi ini, sudah membuat hatiku yang tadinya kesal, luluh lantah karena melihat kelakuan manis mereka.

Suamiku memandangku lembut, “Sarapan yuk, sayang.“ Aku mengangguk, lalu berujar manja, “Suapin, tapi.” Suamiku tertawa, “Okaay. Di abisin tapinya, ya. Abis itu minum obat. Ga boleh protes loh, klo obatnya pait.” Aku cemberut, keningku berkerut, “Yaah, kasihnya obat yang manis dong, maass. Huuh.”

Ga berapa lama, si kembar lari ke meja makan. Setelah Az katanya selesai menjemur dan An yang katanya selesai mencuci baju, “OOHH OOHH!! AKU JUGA MAU DONG, NYUAPIN BUNDAA!!” Teriak Az girang. An nyerobot ke tengah, membuat posisi duduk suamiku dan aku berjarak, “Ayah geser…ayah geseerrr! An juga mau nyuapin bundaaa, doonggg!!”

Gantian suamiku yang cemberut. Mereka bertiga ini selalu rebutan dalam mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Tapi selalu berakhir suamiku yang tersisihkan. “Hiihh, kok nyebelin sih? Kan ayah duluan yang tadi nyuapin, bundaa. Kemaren juga kalian nyerobot-nyerobot pengen ikut-ikutan kompres bunda segalaa. Sekarang, gantian dooongg. Curaaaangg.” Ujar suamiku gemas. Lalu cemberut kayak anak kecil, ngambek ceritanya. "NYEBELIIN, AAHH!!" Suamiku masih tidak terima. Kalau sudah cemberut begini, muka suamiku mirip persis dengan si kembar ketika mereka ngambek haha.

Ntah kenapa jadi teringat kata-kata ibuku ketika aku melihat ayahku tiba-tiba kelakuannya seperti anak kecil, “Begitulah nak, suami itu sebenarnya anak bungsu. Bahkan kadang, kelakuannya lebih manja dari anak-anakmu sendiri nanti. Lihat saja nanti.”

Aku tertawa geli sendiri. Dan aku semakin menyadari, bahwa perkataan ibuku memang benar adanya.

**************************
Kisah 1, Az dan An : Aku, Sang Titik Fokus ( http://www.nadhiraarini.com/2015/02/aku-sang-titik-fokus.html )
Kisah 2, Az dan An : Percobaan Roket ( http://www.nadhiraarini.com/2015/02/percobaan-roket.html )
Kisah 3, Az dan An : Bunda dan 4 Kata Ajaib ( http://www.nadhiraarini.com/2015/02/bunda-dan-empat-kata-ajaib.html)

You Might Also Like

5 comments

  1. Tulisan yang cantik kakak :))
    Boleh folbeknya nih hhihihi

    ReplyDelete
  2. Mba Dhira aku GMZ sama az dan an

    ReplyDelete
  3. Unyuu banget Dhira bocah-bocahnya. Suaminya juga *eh*
    Hahahaha....
    *nungguin cerita Az & An selanjutnya*

    ReplyDelete
  4. Mbak, aku gmz sm ayah nya *eh wkwkw :p
    Itu, bayclin tolong di jauhin dari jangkauan anak2 ya

    ReplyDelete
  5. seru.......... | kyaknya klo dah banyak bisa dibuat kumpulan cerita Az-An...:D

    *ga tahu kenapa mata ini berkaca-kaca terharu*
    tulisanmu berRASA banget, rasa kasih sayang di antara tokohnya tersampaikan sampai ke hati...
    no doubt kamu nulisnya pasti dengan penuh perasaan (rasa sayang)....

    kutunggu kisah selanjutnya :).

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Follow me on IG : @nadhiraarini