Selalu Salah Jalan

March 04, 2016

(Volkert Family 12, dari sudut pandang seseorang yang selalu kebingungan menghadapi wanita yang bingung arah)

Baca ini dulu sebelum melanjutkan (klik link) ~> Volkert Family Trees & Sinopsis Cerita

Genre : Romance, Comedy
Sinopsis : Sampai kapan, aku terus-terusan jadi guide setiap kamu nyasar?

Word Count : 1185/1500

Suatu hari, ketika aku terpaksa harus berdiri karena U-Bahn1yang aku naiki penuh sekali, seorang wanita berkerudung merah marun motif Libelle2 yang aku kenal, berusaha sekuat tenaga berlari menerobos kerumunan di luar agar bisa masuk ke dalam U-Bahn yang akan berangkat sedetik lagi. Pintu U-Bahn sudah hampir tertutup, ketika aku menggerakkan kaki kananku menghalangi pintu agar pintu terbuka kembali dan ia dapat masuk ke dalam kereta bawah tanah yang penuh sesak ini.

Ia berhasil masuk, menjejalkan dirinya diantara penumpang, menurunkan syal wol hitam tebal yang menutupi hidung sampai lehernya dan berusaha berbicara di sela-sela nafasnya yang naik turun, “Dan..ke3.” Ujarnya putus-putus.
“Sama-sama.” Jawabku dengan Bahasa Indonesia, lalu nyengir lebar. Wanita itu menoleh kepadaku dengan cepat, lalu tertawa renyah, “Eh elo.” Ujarnya sambil tersenyum—ah, suara tawanya menyenangkan.

“Turun di mana?”Tanyaku iseng. Ia merapikan posisi ranselnya yang miring, kemudian menjawab, “Am Mittelfelde. Kerja, dapet shift siang. Hampir telat, nih.” Jawabnya sambil cemberut.

Aku mengerutkan kening. Di luar mendung, salju turun perlahan, “Nay…” Ucapku pelan. Yang diajak ngobrol masih sibuk membuka hapenya, “Hmmm…” Ia hanya menjawab dengan gumaman.

“Ini kereta tujuannya ke Laatzen bukan ke Messe Nord.” Ujarku maklum, lalu memandangnya dengan tatapan prihatin. Nayla menghentikan aktifitas bermain handphonenya tiba-tiba. Kedua matanya membesar, mulutnya terbuka, “Scheißeee!4” Lalu ia memecet tombol dengan panik agar kereta berhenti di stasiun selanjutnya.  

Kebiasaan…

****
Nayla Zanitha
Maaf, mau nanya.
bukbernya udh mulai blm?
Gw nyasar lg kyknya ._. (21.50)

wo bist du jetzt?5
 (21.52)

Nayla Zanitha
Beekestr udh turun tapi. 
gelap, katanya teh Rani kluar dr pintu Ubahn 
belok kiri. trs gw jln trs aja. 
tp udh jauh ga nemu jl Am Papenhof ._. (21.52)

Ya ampun. bkn ke arah sana (21.52)
Nayla Zanitha
haaaa??
gelap, bingung blok2nya klo gini.
gw hrs kemana, tolong… 
sori ganggu. gw blm kenal bnyk org indo hannover kan
cm tau nomor lo, sofia sama rima.
tp mereka ga angkat tlp sama ga bales2 chat gw :( (21.53)

calm down. gue telpon ya (21.54)

Aku menelponnya segera. Aku tahu dari suaranya ia mencoba untuk tenang. Berulang kali aku mencoba menuntunnya melalui telepon, jalan yang seharusnya ia lewati. Telepon ditutup, Nayla bilang sudah berhasil menemukan jalan Am Papenhof.

Tiga puluh menit kemudian, tidak ada tanda-tanda bel ditekan dari lantai bawah. Makanan buka puasa sudah hampir habis, semua orang sudah selesai shalat maghrib berjamaah. Teh Rani mempertanyakan keberadaan Nayla, aku hanya sanggup mengangkat bahu.

Nay.
di mana? (22.22)
Nayla Zanitha, slide to answer

“Nay…di man…”
“Ah ya ampun, gue udah masuk ke jalan Am Papenhof, tapi ga ada rumah nomor sepuluh? Rumah-rumahnya gelap banget, kayak ga ada orang gitu. Gue berusaha nyari sana sini, tapi cuma muter-muter aja balik lagi balik lagi ke jalan yang tadi. Gue lapeerr, buka puasa baru minum air putih doaangg. Makanan buka puasanya udah pada abiis, yaa? Tolongin gue doongg, ini sereem. Gue selalu bingung kalo harus dateng ke tempat baru. Apalagi kalo malem-malem gini, blok-bloknya bikin binguung. Di mana sih, nomor sepuluuh. Di manaa?” Semburnya panik. 
“Nay, bukan rumah Nay. Ini asrama mahasiswa. Bentuknya gedung, Nayla. Lo salah belok mungkin.” Ujarku berusaha menenangkan.
“Tapi ini udah bener kok, belok kanaann. Tulisan jalannya juga Am Papenhoooff.”
Aku menarik nafas, berusaha untuk menenangkan diri. Ini sudah terlalu malam untuk ukuran wanita Indonesia berkeliaran seorang diri di luar. Kalau saudara perempuanku yang masih di luar sana tengah malam begini, aku pasti sudah seperti kesetanan mencarinya, “Tenang ya, coba sekarang lo diem, jangan gerak lagi. Liat di depan apa, di belakang apa, di kanan ada apa, di kiri ada apa? Terus kasih tahu gue, kali gue bisa nerka-nerka lo posisinya di mana.”
“Ga tahu, gelap. Cuma rumah-rumah aja.” Suaranya bergetar karena panik.
“Lihat tempat parkir?”
“Ngga.” 

Mataku terpejam, frustasi. Ya ampun. Where the hell is she now?
“Batere hape udah mau abis, udah merah warnanya. Bentar lagi mati, nih.” Dari ujung telepon Nayla membuyarkan lamunanku. 
Aku terkesiap, “Jangan kemana-mana, gue turun sekarang.” Aku menutup telepon, kemudian mencari-cari saudara-saudara sepupuku.

“Mba Yuri sama Mba Lea bisa tolong temenin aku nyari Nayla?”

Lagi-lagi aku menarik nafas berat. Nayla, please berhenti buat aku khawatir.

****
“Pengajiannya di mana bulan ini?” Nayla bertanya pada suatu hari yang cerah. Aku yang sedang sibuk membaca modul tebal di perpustakaan sejuk belakang Universitas Leibniz, menjawabnya tanpa menoleh, “Barsinghausen, rumahnya Mba Nuning.”
Nayla menarik kursi kemudian duduk di sebelahku, “Letaknya masih di Hannover? Belum pernah denger.” Aku meliriknya sekilas, menyadari keningnya berkerut karena berpikir keras, lalu aku kembali membaca modul tebal itu sembari menahan senyum, “Masih. Zona tiga, letaknya agak di luar Hannover.”

Pulpennya jatuh, aku menoleh, “Kenapa?”
Sambil menunduk ke bawah meja mencari-cari pulpennya yang jatuh, ia bergumam, “Tiket gue kayaknya cuma sampe zona dua, deh. Gue kan ga punya semester ticket.” Punggungnya keluar dari bawah meja, lalu nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya yang berderet rapi.

Aku mengalihkan pandangan, berusaha tidak memandangnya terlalu lama, “Beli tiket tambahan kalau gitu. Nambah satu zona.”
“Gimana caranya? Gue bingung kalau udah urusan nambah-nambah tiket kayak gitu.” Kedua matanya berputar, sibuk berfikir keras. Pulpen yang tadi sempat jatuh dipukul-pukulnya ringan di pipi kanannya. Ya ampun, cute…

Aku menggeleng, mengingatkan diri sendiri untuk tetap fokus. Jaga pandangan…jaga pandangan…nanti hafalanmu ilang…

“Jadi gini…” Akhirnya aku menjelaskan panjang lebar bagaimana caranya agar Nayla bisa membeli tiket tambahan dengan mudah. Sesekali pandangannya menghadap ke kaca jendela besar yang menghadap ke taman belakang universitas. Kedua tangannya mulai bergerak mengayun-ayun agar kursi yang ia duduki bergerak ke depan dan kebelakang. Ia tidak fokus mendengarkan.

“Nay…ngerti ga?” Aku menyerah, sepertinya aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri tanpa perlu ia jawab.
Nayla menoleh ke arahku segera, lalu menggeleng cepat. Kemudian nyengir lagi. Kedua lesung pipitnya muncul bersamaan dengan terlihatnya kembali deretan gigi putihnya. Seharusnya cengiran itu menjengkelkan, tetapi ntah kenapa tidak begitu di mataku. Apalagi lesung pipitnya…

Ya Allah, cukup ya Allah.

Kali ini aku benar-benar melambaikan bendera putih tanda menyerah total. Aku menarik nafas berat, lalu menoleh ke arahnya, “Oke kalau gitu bareng berangkatnya. Punktlich, um sieben Uhrga  pake telat di Hauptbahnhof 7.”
Nayla tertawa senang tanpa menimbulkan suara, ia sadar sepenuhnya kalau sedang berada di perpustakaan, “Oke siaap, komandaann. Jam tujuh berarti, di stasiun utama.” Kedua tangannya mengepal dan bergerak-gerak riang karena senang, “Ada lagi yang berangkat bareng kita?”
Aku mengangguk malas, “Saudara-saudara sepupu gue, lengkap.”

Damn, tiga sepupuku yang lain tidak akan suka ada wanita asing diantara kita. Sudah pasti sepupu-sepupuku yang perempuan akan berusaha menahan diri untuk tidak senyum-senyum selama perjalanan. Sumber masalah ada di Mba Freya. Dia selalu bertindak seenaknya apalagi kalau berhasil mengganggu semua saudara laki-lakinya. Aku harus cari cara supaya mulutnya dijahit dan tubuhnya diikat di kursi kereta. 

Aku melirik diam-diam ke arah wanita yang dari tadi sudah membuatku gagal fokus membaca modul tebal yang harus aku pelajari ulang. Ia sedang asik menulis sesuatu sambil bersenandung pelan. Hari yang melelahkan, padahal baru jam sebelas siang.

Nayla…
perlukah aku menjadi imammu? Yang tidak hanya memimpin keluarga, tetapi juga bisa selalu memimpinmu menunjukkan jalan yang benar agar kamu tidak pernah tersesat lagi setiap mencari jalan?

Lalu pikiran itu, menghantuiku sepanjang hari…

Catatan Kaki :
1) U-Bahn (Untergrundbahn) / (underground railway) : Kereta Bawah Tanah
2) Libelle : Capung
3) Danke : Terima kasih
4) Scheißeee! : Shiiitt
5) wo bist du jetzt? : Kamu sekarang di mana?
6) Punktlich, um sieben Uhr : Tepat waktu, jam 7 pagi
7) Hauptbahnhof : Stasiun Utama
------------------------
Volkert Family 1, Chat Room Keluarga Masa Kini 1 : http://www.nadhiraarini.com/2015/12/chat-room-keluarga-masa-kini-1.html
Volkert Family 2, Ketika Cinta Begitu Berat : http://www.nadhiraarini.com/2015/09/ketika-cinta-begitu-berat.html
Volkert Family 3, Ketika Aku Merindukannya : http://www.nadhiraarini.com/2015/12/ketika-aku-merindukannya.html
Volkert Family 4, Chat Room; Keluarga Masa Kini 2 - Salah Jalan : http://www.nadhiraarini.com/2015/12/chat-room-keluarga-masa-kini-2-salah.html
Volkert Family 5, Ketika Kenyataan Itu Memilukan : http://www.nadhiraarini.com/2016/01/ketika-kenyataan-itu-memilukan.html
Volkert Family 6, Buku Catatan Terkutuk : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/buku-catatan-terkutuk.html
Volkert Family 7 : Namamu Siapa? : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/namamu-siapa.html
Volkert Family 8 : Hati yang Tertusuk Puluhan Anak Panah http://www.nadhiraarini.com/2016/02/hati-yang-tertusuk-puluhan-anak-panah.html
Volkert Family 9 : Permohonan Terakhir Sepasang Cincin : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/permohonan-terakhir-sepasang-cincin.html
Volkert Family 10 : Surat Kaleng : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/surat-kaleng.html
Volkert Family 11 : Cinta yang Membutakan : http://www.nadhiraarini.com/2016/03/cinta-yang-membutakan.html
Volkert Family 12 : Selalu Salah Jalan : http://www.nadhiraarini.com/2016/03/selalu-salah-jalan.html

You Might Also Like

5 comments

  1. ini sudut pandang siapa Mba dhira? Gagal paham siapa seseorang ituu. Jadi melting dan berharap calon jodoh cepat datang wkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sudut pandang dari salah satu empat sepupu sebaya ehehehe. Tebak siapa... :p

      Delete
  2. Dhiraaa... Aku penasaran bgt nih kelanjutannya... Ayooo dong dilanjutin hehe 😁. Semangat dalam mencari inspirasi dan semangat dlm menulis jg Dhira 😁

    ReplyDelete
  3. Wah, itu sudut pandangnya aidan yaa mbak nadhir?

    ReplyDelete
  4. Ceritanya sangat menarik sekali mbk, selalu tingkatkan kreativitasnya iya mbk, salam sukses!!!

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Follow me on IG : @nadhiraarini