Cinta yang Membutakan

March 03, 2016

(Volkert Family 11, dari sudut pandang seorang wanita gila yang tidak sadar bahwa ia sudah mulai menjadi gila)

Baca ini dulu sebelum melanjutkan (klik link) ~> Volkert Family Trees & Sinopsis Cerita

Genre : Romance, Tragedy
Sinopsis : Cinta sejati itu adalah cinta yang aku bawa sampai mati.

World Count : 1420/1500

Currently Listening : 
‘Utopia -  Mencintaimu Sampan Mati’
(dari Single Album, rilis tahun 2010)

‘Kau adalah hatiku
kau belahan jiwaku
Seperti itu ku mencintaimu sampai 
mati…’

Aku ingat, ketika kejadian menggemparkan itu terjadi pada suatu sore. Kejadian yang tidak pernah aku mengerti sampai sekarang, mengapa semua orang begitu marah, padahal apa yang aku lakukan hanyalah mengungkapkan suatu kebenaran yang selama ini aku simpan.
Jangan salahkan aku, salahkan orang tuaku yang tidak pernah mau mendengar pendapatku walaupun hanya satu kata. Mereka tidak pernah mau didebat, hanya pukulan menyakitkan yang selalu aku terima jika aku berusaha mengungkapkan isi hatiku sebenarnya. Aku tidak pernah sekalipun, bahkan sedetikpun menyukai calon suamiku itu. Dia memang memiliki ketampanan turun temurun khas keluarga Volkert, tetapi sudah jelas, sudah pasti, bahkan di mimpi terliarku sekalipun, ia tidak akan pernah bisa menandingi kehebatan sepupunya yang sudah berhasil memenangkan hatiku bertahun-tahun yang lalu. 

Sudah cukup aku menahan tangis, ketika ayahku menerima dengan mudahnya lamaran yang diajukan olehnya. Aku—yang mendengar percakapan mereka semua dari awal sampai akhir dari balik pintu, hanya bisa menahan amarah dan tangisan yang tidak akan aku biarkan turun sebagai wujud pertahanan diriku bahwa aku bukanlah wanita lemah yang mudah menangis.

Hanya karena ia adalah keturunan luar biasa dari keluarga Volkert yang terpandang, ayahku menerima lamarannya tanpa berpikir panjang. Tidak sadarkah ia, bahwa pria yang sudah aku putuskan untuk aku cintai sampai mati juga berasal dari keluarga Volkert? Berulang kali aku mencoba menjelaskan, tetapi orang tuaku sama sekali tidak mau mendengar. Sebagai akibatnya, badanku menerima imbalannya. Dipukul habis-habisan karena membangkang. Dan kalian tahu, ayah dan ibuku berusaha menahan serangannya agar tidak melukai wajahku, karena kalau sampai calon suamiku melihatnya, sudah jelas kedua orang tuaku akan menerima amukan yang setimpal karena sudah menjadi rahasia umum bahwa para pria Volkert sangat menghormati para wanita yang mereka sayangi dan menjaganya sampai titik darah penghabisan.

Tetapi aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup membayangkan bahwa akan hidup selamanya bersama pria yang tidak pernah sekalipun aku cintai. Jadi, ketika dua keluarga besar berkumpul bersama dalam satu rumah, saat itulah aku membeberkan semuanya. Aku ingat dengan jelas, si pencuri yang mencuri buku catatanku dan tidak pernah mau mengembalikannya, menatapku dengan tatapan berang, seperti sudah siap melemparku detik itu juga ke segitiga bermuda agar hilang selamanya dari hadapannya. 

Lalu calon suamiku berdiri, menatapku dengan tatapan menusuk yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ia tidak berkata apapun, kedua matanya yang mengatakan segalanya. Ia terluka, sangat dalam sehingga tidak sanggup meluapkan emosinya saat itu juga. Ibunya mendekatinya, calon suamiku melangkah mundur—tidak ingin disentuh siapapun. Semua mata tertuju kepadanya untuk melihat reaksinya, tetapi ia hanya diam seperti patung lalu berhasil mengalihkan pandangannya dariku. Dari jauh aku melihat air matanya turun, tangan kanannya bergerak gugup memegang dadanya, ia terlihat seperti sedang berusaha untuk bernafas. Semua keluarganya tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya, memandang khawatir ke arah calon suamiku. Keinan berlari ke bagian belakang rumah untuk mengambil sesuatu dan kembali membawa sebuah kotak lalu membukanya.

“Please, gue mohon. Jangan dipaksa, badan lo ga kuat.” Keinan berkata dengan suara bergetar. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Ia berusaha mendekati calon suamiku, tetapi calon suamiku menggeleng, lalu bergerak mundur dengan terhuyung-huyung. Tangan kanannya menggenggam lebih erat leher kemejanya sampai terlihat kusut, ia berusaha berbicara, “Mun…dur.” Ujarnya terbata.

“Abang…abang…abang…” Saudaranya yang paling kecil sepertinya merasakan perubahan suasana yang drastis dan ia mulai menangis. Kedua kakinya yang mungil, berjalan mendekatinya. Hanya saudaranya yang ini, yang ia biarkan mendekat.

Rhea menjerit, lalu Freya bergerak ke arahku, menamparku dengan keras sehingga bunyi tamparannya terdengar menggema memenuhi ruang tamu, “Kurang ajar.” Ujarnya lantang. Wajah cantiknya menggelap, alis tebalnya yang biasanya terlihat indah membingkai wajahnya, berubah menjadi menakutkan dalam pandanganku. Ia sekarang seperti jelmaan iblis berwajah muram.

“Berani-beraninya, kau…” Freya tidak berhasil menyesaikan kalimatnya, ia menolehkan kepalanya ke arah belakang, karena kali ini Queensha menjerit. “Oh, nein…” Ujarnya panik. Aku mengikuti arah pandangnya dan tampak jelas di kedua mataku bahwa wajah calon suamiku sudah pucat sepucat mayat. 

Ayahku menarik kerudungku dengan keras, berhasil membuatku berteriak karena terkejut. Kedua orang tuaku menyeretku ke arah pintu keluar. Petir menyambar-nyambar, hujan deras datang mengguyur, menyajikan pemandangan menakutkan di sore itu. Ayahku melemparku ke arah rumput taman yang basah. Ibuku terus berteriak dan mengatakan bahwa ia menyesal memiliki anak sepertiku. 

Hujan deras berhasil membuatku basah kuyup, aku tetap bertahan untuk tidak menangis. Ayahku kembali mendekat, bersiap memukulku di bawah derasnya hujan. Sebuah tangan besar yang kuat menahannya. Aku mengusap kedua mataku agar pandanganku dapat melihat dengan jelas, siapa penolongku itu.

Dan disanalah, calon suamiku yang baru saja aku patahkan hatinya, berdiri di bawah derasnya hujan, menahan ayahku agar tidak bersikap layaknya manusia barbar yang tidak berperikemanusiaan. Wajah tampannya semakin pucat. Tangan kanannya menggenggam tangan ayahku dengan kuat, tangan kirinya terus memegang dadanya, nafasnya naik turun. Ayah dan pamannya datang menghampirinya, saat itu juga pegangan tangannya mengendur, pergelangan tangan ayahku lepas dari genggamannya dan ia jatuh, matanya terpejam, lalu pamannya menangkapnya beberapa saat sebelum kepalanya membentur tanah.

Keinan bergerak cepat, melewatiku tanpa menoleh sedikitpun. Ia mendekati sepupunya, berusaha memberikan pertolongan darurat kepada sepupunya yang tergeletak begitu saja dalam pelukan ayahnya, “Nafasnya, Ya Allah…please, bangun. Nafas...nafasnya...Mba Lea! Telepon ambulans sekarang!”

Eleanor bergerak mundur, mengembil telepon genggamnya, lalu masuk ke dalam rumah. Rhea dan Queensha menjerit histeris, kedua sepupunya mendorong mereka berdua masuk ke dalam rumah mengikuti Eleanor.


Suasana penuh kebencian datang bagaikan kabut pekat seakan membunuhku perlahan. Tatapan tajam tanpa ampun dari pihak keluarga Volkert, berhasil membuat tubuhku menggigil. Setiap keluarga mereka dianugerahi jenis mata yang diwariskan turun temurun; tajam seperti mata elang. Tubuhku menggigil bukan karena kedinginan, tetapi seperti menjadi target mangsa belasan elang yang sedang kelaparan. 

Tidak.
Ini bukan salahku.
bukan salahku.

Aku terus meyakinkan diriku sendiri. Aku benar, karena berkata jujur. Dan semua orang harus tahu bahwa di hatiku hanya ada Keinan. Hanya aku yang pantas menikah dengannya, bukan Arianna. Aku tidak ingin bohong lagi. Harusnya aku diapresiasi, bukan dicaci maki.

Hujan semakin deras, aku terus memandangi mereka tanpa bergerak. Keinan menatapku sekarang. Tatapannya sedingin es, semakin terlihat dingin akibat hujan. Kedua matanya menggelap, tatapan dinginnya bercampur dengan sorot mata penuh kebencian yang belum pernah aku lihat sebelumnya, “Keinan…”

“Bawa puteri Anda pergi.” Ujar Ayah Keinan dengan suara beratnya. Nada suaranya tidak dapat didebat. 

“Jangan pernah muncul lagi dihadapan kami.” Kali ini adiknya yang berbicara. “Jika terjadi apa-apa dengan putera saya, percayalah…kami tidak akan membiarkan keluarga Anda bernafas lega.” Ancamnya dengan suara tenang yang menakutkan.

Ayahku menarikku dengan paksa agar berdiri. Lalu mendorongku masuk ke dalam mobil dengan kasar, “Anak laknat!” Petir menyambar dan ayahku menutup pintu mobil dengan satu hentakan keras.

Aku menggigil, radio otomatis menyala ketika ayahku menyalakan mobil. Sayup-sayup terdengar lagu lama Utopia berjudul Serpihan Hati berputar, menenangkan hatiku yang gundah akibat tatapan kebencian Keinan yang tidak pernah aku terima sebelumnya.

“Serpihan hati ini kupeluk erat
akan kubawa sampai kumati
memendam rasa ini sendirian
ku tak tau mengapa
aku tak bisa melupakanmu...

kupercaya suatu hari nanti
aku akan merebut hatimu
walau harus menunggu sampai ku tak mampu
menunggumu lagi…

Kepalaku bersandar, memandang jendela mobil yang memberikan ruang kepada hujan untuk meninggalkan butiran-butiran jejaknya di setiap sisinya. Aku tidak peduli dengan umpatan ayahku ketika mematikan radio dengan kasar. Tidak peduli dengan omelan, hinaan, cacian dan bentakan kedua orang tuaku sepanjang jalan.

Aku hanya tersenyum simpul, membenarkan setiap lirik lagu Utopia yang baru saja aku dengar, sampai ke lubuk hatiku yang paling dalam—‘aku akan merebut hatimu dan akan aku bawa sampai kumati…’
--------------------------
Volkert Family 1, Chat Room Keluarga Masa Kini 1 : http://www.nadhiraarini.com/2015/12/chat-room-keluarga-masa-kini-1.html
Volkert Family 2, Ketika Cinta Begitu Berat : http://www.nadhiraarini.com/2015/09/ketika-cinta-begitu-berat.html
Volkert Family 3, Ketika Aku Merindukannya : http://www.nadhiraarini.com/2015/12/ketika-aku-merindukannya.html
Volkert Family 4, Chat Room; Keluarga Masa Kini 2 - Salah Jalan : http://www.nadhiraarini.com/2015/12/chat-room-keluarga-masa-kini-2-salah.html
Volkert Family 5, Ketika Kenyataan Itu Memilukan : http://www.nadhiraarini.com/2016/01/ketika-kenyataan-itu-memilukan.html
Volkert Family 6, Buku Catatan Terkutuk : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/buku-catatan-terkutuk.html
Volkert Family 7 : Namamu Siapa? : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/namamu-siapa.html
Volkert Family 8 : Hati yang Tertusuk Puluhan Anak Panah http://www.nadhiraarini.com/2016/02/hati-yang-tertusuk-puluhan-anak-panah.html
Volkert Family 9 : Permohonan Terakhir Sepasang Cincin : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/permohonan-terakhir-sepasang-cincin.html
Volkert Family 10 : Surat Kaleng : http://www.nadhiraarini.com/2016/02/surat-kaleng.html

You Might Also Like

5 comments

  1. itu sofia ya dhir? sonya? kok ceritanya jadi sedih gini sih dhir :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ntar aku buat yang lucunya ehehehe. sekarang lagi pengen begitu alurnya :p biar bervariasi :D

      Delete
  2. ini hanya mimpi kan dhir?? benerkan,...

    ReplyDelete
  3. pecaaaah mba dhir!! kasian bgt si sofia :(

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Follow me on IG : @nadhiraarini